Oleh Fikri MS
Ia suka hujan. Aku pun sama halnya. Bau
tanah menguap olehnya. Kita bersyukur mencium bau tanah sepanjang gerimis di
tengah terik.
Di perjalanan kereta. Cerita itu mengalir
seperti deru besi tua yang melintasi rel. Di pintu kereta perjumpaan itu. Panas
terik tak jadi penghalang. Kisah mulai melanglang mencari muaranya. Beginilah
kisah itu bermula pada sebuah perjalan singkat.
Di
stasiun kereta Lubuk Linggau. Pagi hari yang gerah. Para
calo calon penumpang asyik bicara dengan kenek angkot. Para
supir pergi ke warung kopi. Sarapan pagi. Mungkin juga asyik bicara soal
korupsi dari berita di televisi. Tak lama pintu loket di buka. Sedang sementara
ada dua jam antrian sudah menunggu. Setengah jam berikutnya tujuh tiket terbeli
tunai disertai KTP tanda bukti penumpang legal. Begitulah. Seorang kawan dengan
puas hati mengipaskan ketujuh tiket itu di wajahnya. Matahari mulai tertawa.
Kami
mencari kursi di gerbong nomor 2. Nomor kursi 3a, b, c, 4a, b, c dan 5a tertera
dalam tiket. Tak susah menemukannya. Beberapa penumpang tengah sibuk meletakkan
barang mereka di bagasi. Yang lain masih mencari. Sedang kami telah duduk
dengan santai. Setengah botol minuman meminta lebih untuk dibagi tujuh. Cuaca
memang dahaga. Belum lagi keterlambatan kereta mengurai banyak cerita menunggu
keberangkatan. Ada
dua jam kurang lebih. Besi tua yang kami tumpangi termenung tak tahu diri.
Bahkan lebih lama dari yang kami duga.
Dan
inilah saat itu. Saat mataku menatap dari balik jendela kereta. Seorang
perempuan muda, cantik dan agak manis. Mungkin lebih tepatnya aku katakana ia
menarik. Lama kupandangi ia. Dan ia memang tak melihatku penuh seperti aku
memperhatikannya. Ia berdiri di depan etalase warung itu. Dengan kerudung yang
entah model apa tepatnya. Yang aku ketahui ia pantas dengan pakaian begitu.
Barangkalai memang aku tengah terpesona olehnya. Ini lumrah tentunya.
Begitulah!
Kali pertama. Dan aku teringat akan hal itu justru ketika berhadapan langsung
dengannya di pintu kereta. Waktu itu: kereta mulai bergerak ke hilir. Melintasi
rumah-rumah di pinggiran rel, semak belukar, perkampungan. Beberapa bidang
sawah yang terbuka. Di pintu kereta ia berdiri, di antara sambungan gerbong pertama
dan kedua. Ia bersandar. Matanya menatapku. Entah pula apa yang
diperhatikannya. Dan aku tergoda. Ya, tergoda untuk menyapanya. Dan aku
berpikir, bagaimana memulainya. Tak kutemukan cukup alas an untuk berkata
“tidak!” pada keinginan yang menggelegak. Ah, lagi-lagi ini lumrah saja
tentunya.
Kudekati
ia.
“Kereta
terlambat lebih lama….” Suaraku terdengar hambar ditelan suara terompet kereta.
Kuperjelas lagi.
“Kereta
terlambat!!”, ia menoleh kepadaku. Dan tersenyum. Ya Tuhan. Itulah yang aku
tunggu. Sambutan sederhana tapi menggoda. Aku pun tertawa.
“Kenapa
tak duduk saja?” kataku pelan menyapanya untuk yang ketiga kali.
Lagi-lagi ia tersenyum dan
berkata, “Aku suka berdiri.”
Terompet kereta menderu nyaring, melintasi
jalan raya. Orang-orang menunggu palang kereta di buka. Langit makin cerah, dan
matahari gagah perkasa ia menuju puncak. Beberapa pedagang asongan melangkah di
antara obrolan kami. Berteriak melawan bising terompet.
Jawaban
aneh kudengar darinya. Tak seperti biasa. Biasanya perempuan sepertinya. Kucari
tahu apa yang membuatnya begini. Pertama kusangka ia orang Lubuk Linggau. Tapi
bukan. Dari Jambi dia berasal. Dari yang kuketahui di Jambi tak ada kereta.
Barangkali ia takjub dan ingin benar-benar menikmati perjelanan kereta. Tepat
sekali apa yang kuduga. Baru kali kedua ini ia naik kereta. Ia tersenyum
mendengar tebakannku.
Wajahnya
mengingatkanku pada sesorang yang entah pula dimana kami pernah berjumpa. Hanya
saja dalam ingatanku. Tak asing sosok sepertinya. Ah, barangkali saja ini de Javu. Bukankah biasa hal demikian.
Terompet
kereta berbunyi lagi. Bising dan sedikit angkuh. Angin memanjakan suara itu.
Lantang dan memanglah berwibawa karakter tuanya. Sesekali mata kami berpapasan
lalu lengah kembali. Mencairkan suasana dengannya tidaklah mudah. Banyak hal
yang ingin kutanyakan. Dan kurasa ia pun sama berpikir demikian.
“Kau tahu
bagaimana cara menikmati perjalanan?” katanya sambil memandang ke perumahan di
luar kereta. Anak-anak kecil berlarian menyambut kereta sore. Sebentar lagi
stasiun ke dua menunggu.
“Dengan
berdiri di pintu kereta seperti yang kau lakukan saat ini?” jawabku menoleh
kepadanya dan berharap ia membalas tatapan mataku.
“Salah
satunya. Lagi pula di dalam panas. Aku tak betah!” katanya.
Sedang
teman-temannya duduk. Asyik di dalam. Mungkin juga tidur. Atau memaksakan diri
untuk tidur sambil menikmati gerah. Matahari kian menyala. Begitu juga dengan
kawan-kawanku. Aku tahu mereka semua lelah. Mulut mereka terbuka tidur
menganga. Sesekali kulihat mereka. Dan aku tertawa membayangkan sesudahnya.
Aku terkejut ketika
ia mulai bercerita. Dan itu yang aku inginkan. Aku ingin mendengar tentangnya.
Mengetahui dirinya lewat cerita di pintu kereta.
“Mamahku
bercerai. Sejak lama. Sejak aku kelas dua SMP. Ini menyedihkan. Tapi aku bisa
menghadapinya. Perempuan yang melahirkanku itu tinggal di Jambi. Dan telah
menikah lagi. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya tinggal dengan ayah tiri.
Itulah yang membuatku untuk menetap di Palembang
bersama tanteku. Sedang papaku pun tak jauh berbeda. Ia menikah lagi dan
tinggal di Lampung.”
Pelan-pelan
aku mengerti apa yang dipikirkannya. Bagaimana dirinya. Dan apa pula yang ia
hadapi. Walau pengetahuanku tak begitu dalam. Tapi setidaknya aku menjadi
peduli dengannya.
Ia melanjutkan
ceritanya.
“Sebetulnya
mamah tak mengizinkan kepergianku. Ia ingin aku tetap berada dalam lingkaran
pengawasannya. Dan aku tak percaya itu. Aku tak mau! Aku sudah dewasa. Dan
seharusnya demikian. Suatu saat nanti adikku akan kuambil darinya. Aku yang
akan membesarkan dan merawatnya. Tak kan
kubiarkan ia sepertiku!”
Mataku menatap
sekitar ke luar kereta. Dan berpikir tentangnya. Aku takut salah menduga.
Mendengar kalimatnya yang terakhir aku jadi khawatir. Tapi lekas kusingkirkan
dugaan itu. Yang terlintas dalam pikiranku. Tak baik menduga atau
mempertimbangkan kehadiran seseorang. Siapa yang tak punya masa lalu atau
kesalahan. Tak seorang pun. Dan aku percayai itu.
“Apa kau
berpikir aku perempuan nakal?” katanya.
Matanya
menatapku lembut penuh sangsi.
“Aku tak paham
apa pertanyaanmu itu. Bagiku semuanya akan tampak wajar dan bisa dimaafkan!”
“Aku suka
bergaul dengan lelaki. Tapi tidak untuk yang satu itu!”
Kalimatnya
yang terakhir terdengar lebih tegas. Aku memahami maksudnya.
“Aku hanya
mencari kesenganan. Dan bukan apa-apa!”
Aku mulai mamahaminya. Perempuan yang bermasalah baginya sendiri. Dan bagiku itu wajar. Mungkin pula karena aku tertarik kepadanya. Hingga tak menganggap penting apa yang menjadi masa lalunya bahkan pula apa yang ia lakukan dalam setiap hari.
Aku mulai mamahaminya. Perempuan yang bermasalah baginya sendiri. Dan bagiku itu wajar. Mungkin pula karena aku tertarik kepadanya. Hingga tak menganggap penting apa yang menjadi masa lalunya bahkan pula apa yang ia lakukan dalam setiap hari.
“Semua orang
berhak atas kebahagiannya. Apa pun itu. Kebahagian mesti diperoleh. Tapi, tentu
saja dengan tak melukai orang lain. Apa yang kau lakukan tentu ada sebab dan
latar belakangnya. Dan kerna itulah ia menjadi kisah bagi hidupmu. Jangan
pernah berpikir untuk mengulang sejarah. Sebab ia adalah yang sudah berlalu.
Tentu pula kau akan bertambah dewasa kernanya. Bagaimana dengan esok, tiga
tahun kemudian? Apa yang kau persiapkan sejak sekarang, untuk adikmu dan masa
depanmu? Bukankah kau masih punya banyak waktu untuk membuktikan bahwa dirimu
mampu untuk itu. Kau adalah perempuan yang kuat. Tidak semua perempuan
sepertimu. Dan tak ada yang mau memilih demikian. Karena ini bukan pilihan.
Hidup adalah waktu untuk berbuat sesuatu yang bermakna.”
Kata-kataku
tampak menarik baginya. Itu terlihat dari tatapan matanya yang memperhatikan
kalimat yang kuucapkan. Ya Tuhan, ia cantik dan mempesona. Meski udara sedang
gerah.
Tak terasa
perjalanan cerita dan kereta telah membawa kami melintasi stasiun demi stasiun.
Matahari telah melewati puncaknya. Seorang pedagang asongan menawarkan minuman
dingin. Kubeli sekotak rokok. Dan sebotol minuman kuserahkan kepadanya. Ia
menolak. Tapi percuma kerna aku menghendakinya. Ia letakkan botol minuman itu
di sudut belakang pintu kereta. Mungkin ia tak suka. Tapi biar saja. Aku hanya
marasa ia butuh minum dan sebaliknya mulutku mulai masam digoda asap tembakau.
“Kenapa dengan
tiga tahun kemudian? Aku tak yakin apa yang bisa aku lakukan.”
Kata-katanya
pesimis. Dan itu membuatku memberikan penjelasan. Bahwa kita mesti memiliki mimpi
untuk masa depan. Dan berhak mewujudkannya.
“Perjalananmu
masih jauh, sedang stasiun tempatku berhenti tak lama lagi nampak setelah satu
satiun ini” kataku.
“Apa kau masih
akan berdiri di pintu kereta hingga gelap merayap?”
Ia tersenyum.
Betapa manis dan menarik.
Kereta
berhenti di stasiun Lahat. Tiba-tiba seorang perempuan memanggilnya. Dan
mengajaknya makan. Ia minta diri untuk itu. Aku membiarkannya dengan senyum
menggantung. Sembari kuserahkan minumannya yang tertinggal. Dan berharap ia
kembali ke pintu kereta sesudahnya.
Tak begitu
lama. Suara terompet kereta memberi isyarat. Perjalanan kereta dilanjutkan. Aku
sendiri di pintu kereta. Menunggu kehadirannya. Setengah perjalanan belum juga
nampak dirinya. Tumpukan batu bara di sisi kereta melumuti tanah yang basah
sisa hujan semalam barang kali. Beberapa gerbong sedang parkir disana. Aku bergumam.
Penjarahan bumi telah merasuk sekaligus merusak apa yang seharusnya dihargai.
Tak salah jika kota
Lahat menjadi sedemikian panas. Matahari kian menyengat. Pepohonan telah
tumbang di hantam bulldozer. Dan jejak mereka menghancurkan rumah-rumah
penduduk yang bermukim di sekitar rel kereta api. Ini modal yang bicara. Dan
masyarakat dapat apa? Ah. Tuntutan itu terdengar liar dan penuh hujatan. Aku
membiarkannya saja berlalu dengan dendam yang melumut. Begitulah selintas
keadan yang kulalui dari pintu kereta. Dan ia masih belum juga hadir menemani
perjalananku, sedang sebentar lagi stasiun Muara Enim, kereta akan berhenti.
Mataku
masih memandang ke luar kereta. Kereta masuk terowongan. Sejenak gelap. Dan
sesudah itu pundakku ditepuk dari belakang. Kusadari. Ia telah berdiri di
belakangku dengan senyumnya yang manis dan tak ketinggalan tahi lalat di sudut
bawah pipinya benar-benar membuatku termakan oleh sejumlah peristiwa yang ia
ceritan. Dan memanglah aku suka jadinya.
“Sebentar
lagi aku turun. Datanglah kalau kau sempat ke tempatku” sambil menyodorkan
handphonku kepadnya. Dan ia mengerti.
Kusimpan
nomor telphonnya dan berharap kisah ini akan berlanjut pada suatu waktu
berikutnya. Kereta masuk jembatan. Di stasiun telah tampak calon penumpang
menunggu. Kuingatkan lagi kepadanya.
“Berpikirlah
apa yang kau persiapkan untuk tiga tahun ke depan. Jangan menyerah sebab kita
masih muda dan penuh gairah. Masih akan banyak peristiwa yang mesti kita
geluti.”
Sekali lagi ia
tersenyum dan memandangku sedemikian rupa.
Kereta
berhenti. Kami berpamitan. Di pintu kereta ia masih berdiri di antara para
penumpang yang turun. Juga kawan-kawanku.
Untuk kali
terakhir. Sebelum kereta berngkat membawanya ke stasiun Kertapati. Kelihat
senyumnya dari balik kaca jendela kerata.
Selamat jalan.
Ucapku.