Translate

Kamis, 18 Juli 2013

Di Pintu Kereta: Untuk tiga tahun kemudian

Oleh Fikri MS


Ia suka hujan. Aku pun sama halnya. Bau tanah menguap olehnya. Kita bersyukur mencium bau tanah sepanjang gerimis di tengah terik.
Di perjalanan kereta. Cerita itu mengalir seperti deru besi tua yang melintasi rel. Di pintu kereta perjumpaan itu. Panas terik tak jadi penghalang. Kisah mulai melanglang mencari muaranya. Beginilah kisah itu bermula pada sebuah perjalan singkat.
            Di stasiun kereta Lubuk Linggau. Pagi hari yang gerah. Para calo calon penumpang asyik bicara dengan kenek angkot. Para supir pergi ke warung kopi. Sarapan pagi. Mungkin juga asyik bicara soal korupsi dari berita di televisi. Tak lama pintu loket di buka. Sedang sementara ada dua jam antrian sudah menunggu. Setengah jam berikutnya tujuh tiket terbeli tunai disertai KTP tanda bukti penumpang legal. Begitulah. Seorang kawan dengan puas hati mengipaskan ketujuh tiket itu di wajahnya. Matahari mulai tertawa.
            Kami mencari kursi di gerbong nomor 2. Nomor kursi 3a, b, c, 4a, b, c dan 5a tertera dalam tiket. Tak susah menemukannya. Beberapa penumpang tengah sibuk meletakkan barang mereka di bagasi. Yang lain masih mencari. Sedang kami telah duduk dengan santai. Setengah botol minuman meminta lebih untuk dibagi tujuh. Cuaca memang dahaga. Belum lagi keterlambatan kereta mengurai banyak cerita menunggu keberangkatan. Ada dua jam kurang lebih. Besi tua yang kami tumpangi termenung tak tahu diri. Bahkan lebih lama dari yang kami duga.
            Dan inilah saat itu. Saat mataku menatap dari balik jendela kereta. Seorang perempuan muda, cantik dan agak manis. Mungkin lebih tepatnya aku katakana ia menarik. Lama kupandangi ia. Dan ia memang tak melihatku penuh seperti aku memperhatikannya. Ia berdiri di depan etalase warung itu. Dengan kerudung yang entah model apa tepatnya. Yang aku ketahui ia pantas dengan pakaian begitu. Barangkalai memang aku tengah terpesona olehnya. Ini lumrah tentunya.
            Begitulah! Kali pertama. Dan aku teringat akan hal itu justru ketika berhadapan langsung dengannya di pintu kereta. Waktu itu: kereta mulai bergerak ke hilir. Melintasi rumah-rumah di pinggiran rel, semak belukar, perkampungan. Beberapa bidang sawah yang terbuka. Di pintu kereta ia berdiri, di antara sambungan gerbong pertama dan kedua. Ia bersandar. Matanya menatapku. Entah pula apa yang diperhatikannya. Dan aku tergoda. Ya, tergoda untuk menyapanya. Dan aku berpikir, bagaimana memulainya. Tak kutemukan cukup alas an untuk berkata “tidak!” pada keinginan yang menggelegak. Ah, lagi-lagi ini lumrah saja tentunya.
            Kudekati ia.
            “Kereta terlambat lebih lama….” Suaraku terdengar hambar ditelan suara terompet kereta. Kuperjelas lagi.
            “Kereta terlambat!!”, ia menoleh kepadaku. Dan tersenyum. Ya Tuhan. Itulah yang aku tunggu. Sambutan sederhana tapi menggoda. Aku pun tertawa.
            “Kenapa tak duduk saja?” kataku pelan menyapanya untuk yang ketiga kali.
Lagi-lagi ia tersenyum dan berkata, “Aku suka berdiri.”
             Terompet kereta menderu nyaring, melintasi jalan raya. Orang-orang menunggu palang kereta di buka. Langit makin cerah, dan matahari gagah perkasa ia menuju puncak. Beberapa pedagang asongan melangkah di antara obrolan kami. Berteriak melawan bising terompet.
            Jawaban aneh kudengar darinya. Tak seperti biasa. Biasanya perempuan sepertinya. Kucari tahu apa yang membuatnya begini. Pertama kusangka ia orang Lubuk Linggau. Tapi bukan. Dari Jambi dia berasal. Dari yang kuketahui di Jambi tak ada kereta. Barangkali ia takjub dan ingin benar-benar menikmati perjelanan kereta. Tepat sekali apa yang kuduga. Baru kali kedua ini ia naik kereta. Ia tersenyum mendengar tebakannku.
Wajahnya mengingatkanku pada sesorang yang entah pula dimana kami pernah berjumpa. Hanya saja dalam ingatanku. Tak asing sosok sepertinya. Ah, barangkali saja ini de Javu. Bukankah biasa hal demikian.  
Terompet kereta berbunyi lagi. Bising dan sedikit angkuh. Angin memanjakan suara itu. Lantang dan memanglah berwibawa karakter tuanya. Sesekali mata kami berpapasan lalu lengah kembali. Mencairkan suasana dengannya tidaklah mudah. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Dan kurasa ia pun sama berpikir demikian.
“Kau tahu bagaimana cara menikmati perjalanan?” katanya sambil memandang ke perumahan di luar kereta. Anak-anak kecil berlarian menyambut kereta sore. Sebentar lagi stasiun ke dua menunggu.
“Dengan berdiri di pintu kereta seperti yang kau lakukan saat ini?” jawabku menoleh kepadanya dan berharap ia membalas tatapan mataku.
“Salah satunya. Lagi pula di dalam panas. Aku tak betah!” katanya.
Sedang teman-temannya duduk. Asyik di dalam. Mungkin juga tidur. Atau memaksakan diri untuk tidur sambil menikmati gerah. Matahari kian menyala. Begitu juga dengan kawan-kawanku. Aku tahu mereka semua lelah. Mulut mereka terbuka tidur menganga. Sesekali kulihat mereka. Dan aku tertawa membayangkan sesudahnya.
Aku terkejut ketika ia mulai bercerita. Dan itu yang aku inginkan. Aku ingin mendengar tentangnya. Mengetahui dirinya lewat cerita di pintu kereta.
“Mamahku bercerai. Sejak lama. Sejak aku kelas dua SMP. Ini menyedihkan. Tapi aku bisa menghadapinya. Perempuan yang melahirkanku itu tinggal di Jambi. Dan telah menikah lagi. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya tinggal dengan ayah tiri. Itulah yang membuatku untuk menetap di Palembang bersama tanteku. Sedang papaku pun tak jauh berbeda. Ia menikah lagi dan tinggal di Lampung.”
Pelan-pelan aku mengerti apa yang dipikirkannya. Bagaimana dirinya. Dan apa pula yang ia hadapi. Walau pengetahuanku tak begitu dalam. Tapi setidaknya aku menjadi peduli dengannya.
Ia melanjutkan ceritanya.
“Sebetulnya mamah tak mengizinkan kepergianku. Ia ingin aku tetap berada dalam lingkaran pengawasannya. Dan aku tak percaya itu. Aku tak mau! Aku sudah dewasa. Dan seharusnya demikian. Suatu saat nanti adikku akan kuambil darinya. Aku yang akan membesarkan dan merawatnya. Tak kan kubiarkan ia sepertiku!”
Mataku menatap sekitar ke luar kereta. Dan berpikir tentangnya. Aku takut salah menduga. Mendengar kalimatnya yang terakhir aku jadi khawatir. Tapi lekas kusingkirkan dugaan itu. Yang terlintas dalam pikiranku. Tak baik menduga atau mempertimbangkan kehadiran seseorang. Siapa yang tak punya masa lalu atau kesalahan. Tak seorang pun. Dan aku percayai itu.
“Apa kau berpikir aku perempuan nakal?” katanya.
Matanya menatapku lembut penuh sangsi.
“Aku tak paham apa pertanyaanmu itu. Bagiku semuanya akan tampak wajar dan bisa dimaafkan!”
“Aku suka bergaul dengan lelaki. Tapi tidak untuk yang satu itu!”
Kalimatnya yang terakhir terdengar lebih tegas. Aku memahami maksudnya.
“Aku hanya mencari kesenganan. Dan bukan apa-apa!”
            Aku mulai mamahaminya. Perempuan yang bermasalah baginya sendiri. Dan bagiku itu wajar. Mungkin pula karena aku tertarik kepadanya. Hingga tak menganggap penting apa yang menjadi masa lalunya bahkan pula apa yang ia lakukan dalam setiap hari.
“Semua orang berhak atas kebahagiannya. Apa pun itu. Kebahagian mesti diperoleh. Tapi, tentu saja dengan tak melukai orang lain. Apa yang kau lakukan tentu ada sebab dan latar belakangnya. Dan kerna itulah ia menjadi kisah bagi hidupmu. Jangan pernah berpikir untuk mengulang sejarah. Sebab ia adalah yang sudah berlalu. Tentu pula kau akan bertambah dewasa kernanya. Bagaimana dengan esok, tiga tahun kemudian? Apa yang kau persiapkan sejak sekarang, untuk adikmu dan masa depanmu? Bukankah kau masih punya banyak waktu untuk membuktikan bahwa dirimu mampu untuk itu. Kau adalah perempuan yang kuat. Tidak semua perempuan sepertimu. Dan tak ada yang mau memilih demikian. Karena ini bukan pilihan. Hidup adalah waktu untuk berbuat sesuatu yang bermakna.”
Kata-kataku tampak menarik baginya. Itu terlihat dari tatapan matanya yang memperhatikan kalimat yang kuucapkan. Ya Tuhan, ia cantik dan mempesona. Meski udara sedang gerah.
Tak terasa perjalanan cerita dan kereta telah membawa kami melintasi stasiun demi stasiun. Matahari telah melewati puncaknya. Seorang pedagang asongan menawarkan minuman dingin. Kubeli sekotak rokok. Dan sebotol minuman kuserahkan kepadanya. Ia menolak. Tapi percuma kerna aku menghendakinya. Ia letakkan botol minuman itu di sudut belakang pintu kereta. Mungkin ia tak suka. Tapi biar saja. Aku hanya marasa ia butuh minum dan sebaliknya mulutku mulai masam digoda asap tembakau.
“Kenapa dengan tiga tahun kemudian? Aku tak yakin apa yang bisa aku lakukan.”
Kata-katanya pesimis. Dan itu membuatku memberikan penjelasan. Bahwa kita mesti memiliki mimpi untuk masa depan. Dan berhak mewujudkannya.
“Perjalananmu masih jauh, sedang stasiun tempatku berhenti tak lama lagi nampak setelah satu satiun ini” kataku.
“Apa kau masih akan berdiri di pintu kereta hingga gelap merayap?”
Ia tersenyum. Betapa manis dan menarik.
Kereta berhenti di stasiun Lahat. Tiba-tiba seorang perempuan memanggilnya. Dan mengajaknya makan. Ia minta diri untuk itu. Aku membiarkannya dengan senyum menggantung. Sembari kuserahkan minumannya yang tertinggal. Dan berharap ia kembali ke pintu kereta sesudahnya.
Tak begitu lama. Suara terompet kereta memberi isyarat. Perjalanan kereta dilanjutkan. Aku sendiri di pintu kereta. Menunggu kehadirannya. Setengah perjalanan belum juga nampak dirinya. Tumpukan batu bara di sisi kereta melumuti tanah yang basah sisa hujan semalam barang kali. Beberapa gerbong sedang parkir disana. Aku bergumam. Penjarahan bumi telah merasuk sekaligus merusak apa yang seharusnya dihargai. Tak salah jika kota Lahat menjadi sedemikian panas. Matahari kian menyengat. Pepohonan telah tumbang di hantam bulldozer. Dan jejak mereka menghancurkan rumah-rumah penduduk yang bermukim di sekitar rel kereta api. Ini modal yang bicara. Dan masyarakat dapat apa? Ah. Tuntutan itu terdengar liar dan penuh hujatan. Aku membiarkannya saja berlalu dengan dendam yang melumut. Begitulah selintas keadan yang kulalui dari pintu kereta. Dan ia masih belum juga hadir menemani perjalananku, sedang sebentar lagi stasiun Muara Enim, kereta akan berhenti.
            Mataku masih memandang ke luar kereta. Kereta masuk terowongan. Sejenak gelap. Dan sesudah itu pundakku ditepuk dari belakang. Kusadari. Ia telah berdiri di belakangku dengan senyumnya yang manis dan tak ketinggalan tahi lalat di sudut bawah pipinya benar-benar membuatku termakan oleh sejumlah peristiwa yang ia ceritan. Dan memanglah aku suka jadinya.
            “Sebentar lagi aku turun. Datanglah kalau kau sempat ke tempatku” sambil menyodorkan handphonku kepadnya. Dan ia mengerti.
            Kusimpan nomor telphonnya dan berharap kisah ini akan berlanjut pada suatu waktu berikutnya. Kereta masuk jembatan. Di stasiun telah tampak calon penumpang menunggu. Kuingatkan lagi kepadanya.
“Berpikirlah apa yang kau persiapkan untuk tiga tahun ke depan. Jangan menyerah sebab kita masih muda dan penuh gairah. Masih akan banyak peristiwa yang mesti kita geluti.”
Sekali lagi ia tersenyum dan memandangku sedemikian rupa.
Kereta berhenti. Kami berpamitan. Di pintu kereta ia masih berdiri di antara para penumpang yang turun. Juga kawan-kawanku.
Untuk kali terakhir. Sebelum kereta berngkat membawanya ke stasiun Kertapati. Kelihat senyumnya dari balik kaca jendela kerata.
Selamat jalan. Ucapku.