Translate

Selasa, 28 Mei 2013

Zikir Musafir


Lebih dari ribuan hari aku mengingat-Mu.
di tiap tepian jalan, terminal, stasiun,
dan jadwal-jadwal penerbangan:
mengingat-Mu di helaan nafas,
mewariskan abu,
meninggalkan bergelas-gelas ampas.
Minuman kita cintaku,
bukan lagi segelas teh tawar atau kopi panas.
aku diteguk hujan, dipeluk kemarau,
dihirup genangan air dan terik matahari.
lebih dari ribuan hari, aku mengingat-Mu.
suara-Mu menjelma zikir
dan aku senantiasa menjadi musafir.

Kebun Seni, 2013.

Senin, 27 Mei 2013

Meitha KH Luncurkan Buku ‘Mesin Waktu’

Bisnis-Jabar.com 28 Oktober 2012


BANDUNG (bisnis-jabar.com) — Meitha KH meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Mesin Waktu di Jl. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, Sabtu (27/10) malam.
Peluncuran antgologi puisi Mesin Waktu yang memuat 49 puisi dari kurun 2000-2012 itu dibuka dengan pembacaan sajak oleh Sinta Ridwan dan penyanyi balada Ferry Curtis.
Hadir sebagai pembicara dalam sesi diskusi buku tersebut adalah Soni Farid Maulana dan Yopie Setia Umbara.
Dalam pemaparan Soni, puisi-puisi Meitha mengungkap pengalaman batin sang penulis yang penuh warna.
“Dalam puisinya, Meitha tidak hanya bicara tentang dirinya sendiri yang dilanda oleh kesepian dan kesunyian,” katanya.
Menurutnya, puisi-puisi Meitha juga mengungkap persoalan yang luas dalam konteks spiriual dan religiusitas.
Berbeda dengan Soni, hasil pembacaan Yopie Setia Umbara dalam puisi Meitha menjelaskan tentang sisi manusiawi yang dihadirkan terhadap pembaca.
“Saya menemukan dalam antologi puisi ini tema-tema sajak dari Meitha mengandung unsur penerminaan, kerelaan dan penolakan sebagai seorang manusia di sebagian puisinya,” katanya.
Sementara Meitha sendiri dalam proses kreatif menulis kumpulan puisinya tersebut dia mengaku bahwa puisi harus mengalir seperti apa adanya.
“Dalam menulis puisi, saya tulis apa yang saya tulis. Jadi, jika saya ingin menulis ya saya tulis apa yang ada di benak,” katanya.(k5/yri)

Minggu, 19 Mei 2013

Sajak-sajak Meitha KH di Pikiran Rakyat Edisi 19 Mei 2013


Teh Hitam Pernikahan

Teh tawar yang kusajikan
Ternyata tak juga mampu mengabadikan pernikahan.
Langit-langit kesunyian di ruang makan, kamar, dan pekarangan
Semakin hitam, semakin memanjang di akhir bulan.

Aku menyimpan sekotak dendam
dari ribuan hari yang telah kita bangun bersama.
Sejak itu,
Selalu kupesan segelas teh,
di kedai-kedai, restoran, gedung perkantoran, rest area,
atau mini market yang rutin kukunjungi ketika sepi menjadi Tuhan.
Kuhirup teh tawar sambil membayangkan wajahmu,
merasakan dinginnya matamu,
mengenang sajak-sajak yang sempat kau kirimkan bersama sebuah gitar.

Aku semakin mencintai teh
tapi di hari ini,
aku hanya ingin menuangkannya.
Menuangkannya.

2013


Menulismu: Surga dan Neraka

Aku ingin menulismu,
di kitab-kitab, di jarak ayat,
di dengung wirid antara degup dan dekap.

Barangkali ini yang bisa kita simpulkan.
Takdir, sudah dicatat Tuhan jauh sebelum kita dilahirkan.
Nama kita terbaca untuk saling mengulang,
pertemuan dan perpisahan--- sebentar tatap, sebentar ratap,
sebentar gelap.

Kapankah rencana-rencana menjadi sebuah laporan?
imanjinasi tentangmu tumbuh kadang-kadang.
Kapan surge menjadi takdir kita.

Doa kita belum sempurna,
dosa kita mungkin sudah.

Bandung, 2013


Adnan

Di  tepi jendela kereta
Bandung Jakarta
kurasakan angin
mengendap-ngendap sisi hatiku yang paling dingin
dingin karena ingin
dingin karena hening.

Kau, yang mulai asing.
kini akrab di jantung dan pikiranku
garis bibirmu menyapu waktu
kuringkas hari, kusingkat rindu,
kugenapkan cinta dalam degup dan kecup.

Bisakah kita satukan hidup?
Mimpi kita hadir di sepertiga malam yang sama
bisakah anginmu tak hanya sekadar kuhirup.

Adnan,
jika aku boleh berucap
lepaskan aku dari jarak.

2013



Jumat, 10 Mei 2013

5 (lima) Kriteria Pemimpin

Kepemimpinan pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu. Seperti yang terdapat pada beberapa sumber yang menuliskan: ”setiap kalian adalah pemimpin”.
Pierre Teilhard de Chardin yang mengatakan bahwa ”We are not human beings a spiritual experience; we are spiritual beings having a human experience” . Melalui pendapat tersebut kita masih bisa merenungkan kodrat kita sebagai manusia: apakah kita menjadi manusia karena pengalaman spiritual ataukah kita menjadi spiritual karena pengalaman manusiawi. De Chardin sendiri, meyakini bahwa kita adalah mahluk-mahluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.

Ada lima kriteria pada karakter pemimpin. Pemimpin yang pertama adalah pemimpin yang mengajak orang lain dengan paksaan, pemimpin yang semacam ini adalah pemimpin dalam level terendah. Ia bisa melakukan cara apapun agar orang lain membantu melaksanakan keinginannya. Kita mungkin bisa juga menyebut kepemimpinan semacam ini dengan istilah diktator. Kita tau seorang diktator, apalagi diktator yang menghalalkan segala cara tidaklah disukai oleh pada umumnya manusia. Tapi, pada saat-saat tertentu kediktatoran diperlukan. Kita tidak usah menutup mata, bahwa begitu banyak tokoh berpengaruh yang mempengaruhi dunia dan menjadi bagian penting dari sejarah, oleh sebab kediktatoranya.

Pemimpin yang kedua, adalah pemimpin yang menakut nakuti. Pemimpin tersebut tentu saja tidak menghalalkan segala cara, namun memahami orang lain sebagai mahluk yang penakut. Tapi mungkin pada saat tertentu, pemimpin yang baik dapat juga memanfaatkan efek takut dari manajemen kepemimpinan tersebut. Pemimpin yang ketiga adalah kepemimpinan yang didasarkan pada reward (imbalan). Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang ketakutan orang-orang yang dipimpinnya gagal menjalankan perintah. Tetapi reward dapat dijadikan stimulus untuk merangsang mereka yang kurang motivasi dalam bekerja.

Pemimpin keempat, adalah pemimpin yang rasional. Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang penuh perjuangan, karena ia percaya bahwa efektivitas kepemimpinannya semata ditentukan oleh cara berpikir yang diperintahnya. Karena itu pemimpin pada level ini adalah seorang yang selalu mengajak orang lain untuk mengikuti pikirannya, yang didasarkan pada alasan-alasan rasional. Dan pemimpin yang kelima, adalah pemimpin yang memimpin dengan permintaan biasa. Modal dasar dari kepemimpinan yang utama ini adalah kepercayaan. Membangun kepercayaan pada diri bawahan tentu saja tidak mudah. Tapi semuanya hanya mungkin apabila dimulai oleh kepercayaan pimpinan pada kemampuan bawahannya.

Ada satu kisah sederhana yang dialami oleh Mahatma Gandhi. Pada suatu hari Mahatma Gandhi didatangi oleh seorang ibu dan anaknya. Ibu itu bertanya, bagaimana caranya supaya anak saya tidak lagi makan permen sebab takut merusak giginya. Ibu itu percaya, orang bijak seperti Gandhi lah yang bisa menghentikan kebiasaan buruk anaknya. Tanpa diduga, Gandhi menyuruh ibu itu pulang dan kembali seminggu lagi. Seminggu kemudian ibu itu kembali bersama anaknya, dan menagih janji Gandhi. Gandhi pun memandang anak itu dan berkata: Nak, mulai saat ini janganlah lagi kamu makan permen, karena permen merusak gigimu. Lalu ibu itu berkata, kalau hanya itu yang anda katakan, mengapa tidak sejak seminggu yang lalu. Dengan sederhana Gandhi menjawab, karena seminggu yang lalu saya sendiri masih makan permen. Kisah sederhana tersebut, pada dasarnya adalah pelajaran penting bagi pemimpin untuk memulai dari diri sendiri. Dalam bahasa populer belakangan ini, apa yang dilakukan Gandhi dapat kita sebut integritas.

Referensi: Arvan Pradiansyah

Pengaruh Media Televisi dan Agama - Radar Indonesia 8 Mei 2013


Memerhatikan pengaruh media televisi terhadap masyarakat awam membuat saya agak miris. Barangkali bukan agak lagi, justru sangat prihatin. Pengamatan yang saya lakukan dimulai dari lingkungan yang paling dekat. Keluarga, teman, bahkan anak. Ya, saya melihat media televisi jika dikonsumsi tanpa “filter” akan memberikan dampak yang negatif. Iklan, sinetron, film ternyata berpengaruh besar terhadap kehidupan dan pola pikir masyarakat. Topik ini memang sudah sangat “basi”. Sejak jutaan hari yang lalu kita sudah tahu dampak yang akan diterima oleh masyarakat.

Sebutlah keluarga, bertahun-tahun nonton televisi (sinetron) membentuk pola pikir dan gaya hidup yang konsumtif. Setiap produk baru seolah-olah menjadi barang wajib yang harus dibeli. Kemewahan, konflik, memilih pasangan, semuanya menjadi cara pandang yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Busana yang dikenakan jika akan menghadiri undangan pun harus sama warnanya dengan tas, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Ini bukan soal salah atau benar, tapi persepsi mengenai pantas, harus, malu, menjadi ayat atau hadist yang harus dipatuhi.

Pun dalam memilih pasangan. Pengaruh sinetron telah membentuk pola pikir sebagian masyarakat dalam memilih pasangan. Mencari suami yang mapan, sudah memiliki rumah dan kendaraan, dan sebagainya. Hal pertama yang ditanyakan orangtua adalah pekerjaan, bukan agama.

Agama. Mungkin kita akan mengembalikannya kepada  panduan hidup sesuai agama masing-masing. Tapi ternyata, agama juga belum bisa menyelesaikan perkara ini. Ibu-ibu di sekitar rumah saya rutin mengikuti pengajian setiap minggu. Bahkan, ada yang setiap hari. Jika kita memahami dan menerapkan ajaran agama tersebut, tentu perubahan pola pikir dan gaya hidup yang berlebihan itu tidak akan terjadi.

Pengajian-pengajian yang digelar di sekitar lingkungan saya memang membahas banyak hal. Mulai dari syariat agama sampai hubungan dengan manusia. Tetapi, saya belum menemukan gaya atau dalam hal ini kita sebut saja “kampanye” yang secara konsisten mendobrak pola pikir dan gaya hidup sesuai tuntutan agama (islam). Entah karena kurangnya keterampilan “berdakwah” atau tidak ada konsentrasi kesana. Agama menjadi semacam kata-kata motivasi yang kita sadari pada saat itu lalu kemudian dilupakan.
Akhirnya, menurut saya pribadi, apapun pendekatannya, masyarakat harus mulai dibangun kesadaran untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki mental. Barangkali, budaya membaca, budaya memahami, budaya berduskusi, bisa menjadi alternatif untuk persoalan tersebut.

Kamis, 09 Mei 2013

Sajak-sajak Meitha KH - HU Pikiran Rakyat 17 Maret 2013




Meja Makan yang Lajang

Seperti apa kebisuan?
Saat meja makan tak lagi beradu menu,
Dapur lusuh lama tak disentuh,
Perempuan seperti aku: memasak rindu adalah cinta yang utuh.
Seperti apa kebisuan?
Kamar tak lagi bersuara, mimpi hilang disambut koran-koran pagi penuh nama.
Nama: siapapun bisa saling mengenal lantas melupakan.

Seperti apa kebisuan?
Ruang tamu dengan kursi kayu semakin dingin,
tak ada gemuruh angin saat senja gigil,
tak ada denting piring membunyikan cinta yang genting.
Cinta: saat engkau mengatakan ingin berpisah
aku menerimanya dengan ikhlas.

#Tak ada tahun untuk melupakanmu.

Religiositas Dalam Tafsir Meitha KH l Khazanah l HU Pikiran Rakyat l 14 Oktober 201 oleh Soni Farid Maulana pada 14 Oktober 2012 pukul 17:46 ·

Catatan SONI FARID MAULANA

SEJUMLAH  puisi yang ditulis oleh penyair Meitha KH dalam antologi puisi Mesin Waktu  (2000-2012) cukup menarik untuk disimak. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Majelis Sastra Bandung ini berisi  49 puisi, terbit pada bulan Oktober 2012. Kumpulan puisi  ini, tidak hanya mengungkap hubungan aku lirik dengan Tuhan, dan  alam sekitarnya, tetapi juga mengungkap  hubungan aku lirik dan engkau lirik dengan berbagai variasinya. Kemampuan Meitha dalam mengolah kata sebagai bahasa ungkap yang mempribadi, membuat sejumlah puisi yang ditulisnya penuh dengan daya kejut, sebagaimana yang kita baca dalam puisi yang diberi judul Kuburan. Selengkapnya puisi tersebut  berbunyi:  melewati kuburan, ada yang pergi ada yang kembali/  cinta bagaikan kematian/  setelah lama tertidur, pada waktunya bangkit kembali./  daun bergoyang, angin menyapu telingamu. aku rindu../ kegelapan memeluk kita, seolah berkata: ajak aku kemanapun kau mau.// apakah benar, cinta akan mati lalu hidup lagi?// sembilan tahun tak bertemu, sungaiku kemarau, sawah terbelah, peluh bersimbah./ tanganku melingkar dipinggangmu, tak ada suara selain degup jantung yang tak sempat kuhitung.// kuburkan aku di hatimu.//


Dalam puisi tersebut Meitha bertanya tentang apa dan bagaimana hakikat cinta itu dalam kehidupan manusia. Apakah benar cinta yang tumbuh dan berkembang dalam hati dan pikiran manusia itu, bisa mati dan bisa hidup lagi bila ia menemukan dunia yang baru, dalam hal ini menemukan orientasi baru dalam berbagai sendi kehidupan manusia?  Pertanyaan-pertanyaan filosofis semacam itulah yang membuat puisi tersebut menarik untuk direnungkan dan penuh dengan daya kejut. Paling tidak, bagi saya puisi tersebut telah menginterupsi pikiran kita sejenak, untuk bertanya tentang apa dan bagaimana watak kemanusiaan itu. Apa sebab? Tumbuh dan berkembangnya rasa cinta dalam pengertian yang seluas-luasnya itu, tidak lepas dari persoalan semacam itu. Adapun kuburan yang ditulis Meitha dalam larik pertama, dalam tataran tafsir, ia bisa mengarah pada kenangan, atau semacam pengalaman masa silam, atau sesuatu yang telah lampau yang layak untuk diziarahi atau dilupakan sekaligus.
Berkaitan dengan itu,  tidak salah kalau almarhum penyair Rendra pernah berkata, bahwa cinta merupakan buah dari kehidupan, dan itu merupakan karunia yang paling besar diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Untuk itu, tanpa cinta kehidupan manusia kering semata. "Bukankah akar keimanan itu juga bermuara pada cinta? Jadi dimensi cinta dalam kehidupan manusia sungguh luas maknanya!"  jelas Rendra, suatu hari pada tahun 1999 lalu di Paris, Perancis. Sekalipun apa yang diungkap oleh Meitha dalam puisinya itu bertitik-pangkal pada apa dan bagaimana nafas cinta itu tumbuh dalam hati manusia, baik ketika ia berada dalam kebahagiaan maupun dalam  penderitaan,  maka denyut yang dikandungnya bukan hanya sebatas pada hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga menjangkau hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian puisi di atas punya wilayah tafsir yang luas, yang secara hermeneutika bisa dibaca dan ditafsir semacam itu.  Untuk itu, larik kuburkan aku di hatimu tidak hanya mengandung muatan sosial-religius, tetapi juga mistis religius.  Apa sebab? Ungkapkan kuburkan dalam puisinya itu - tidak hanya mengandung makna berserah diri, tetapi juga mengungkap makna siap lebur atau melebur dalam penyatuan. Apa pun makna penyatuan itu.
Dalam titik inilah puisi Meitha terasa penuh daya kejut. Kuburan dengan demikian mengandung banyak makna dalam puisi yang ditulisnya itu. Dalam kaitan ini saya hendak mengatakan, dalam mengungkap pengalaman batinnya yang penuh warna itu, Meitha tidak hanya bicara tentang dirinya sendiri yang dilanda oleh kesepian dan kesunyian, tetapi juga tengah mengungkap persoalan tersebut ketataran yang lebih luas dalam konteks spiritual, sehingga setiap pembaca puisi Meitha bisa merasakan bahwa yang dialami oleh aku lirik dalam puisinya itu adalah "pengalaman pembaca" juga.  Dalam tataran yang demikian itu, Meitha berhasil menumbuhkan daya komunikasi yang dibangun puisinya, yang ditulis dengan sintaksis dan semantik yang sederhana, namun kaya makna.
Dalam puisinya yang lain, yang diberi judul Rumah Sakit (2012) ada kesadaran maut yang mengusik hati dan pikiran aku lirik yang ditulisnya. Kesadaran akan mengingat maut sebagaimana dikatakan para ulama adalah kesadaran yang harus terus ditumbuhkan dalam hati dan pikiran manusia. Apa sebab? Karena ujung dari semua itu pada akhirnya akan membawa ingatan kita pada Keagungan dan Kebesaran Allah SWT.  Dalam konteks inilah muatan religius dalam puisi-puisi Meitha semakin terlacak. Puisi tersebut ditulis dengan kalimat yang sederhana, namun kaya makna. Kita baca di bawah ini: Di Cafe rumah sakit, bangku terdiam lampu terdiam, televisi tak juga diam./ Dia duduk sendiri, menikmati teh hangat.// Apa yang dia ingat, saat kematian perlahan mendekat.// Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar !!//


Dari apa yang ditulisnya semacam itu pada satu sisi menunjukkan bahwa Meitha sesungguhnya bukan orang baru dalam menulis puisi. Kalimat-kalimat yang padat dan ringkas yang ditulisnya itu dalam pandangan saya telah menujukkan bagaimana Meitha sungguh hati-hati dalam menggunakan sekaligus memanfaatkan setiap diksi yang dipilihnya dalam menulis puisi.  Untuk itu, tiga larik akhir dari puisi yang ditulisnya telah membuka cakrawala yang lain di hati pembacanya, saat merenungkan maut yang bisa datang kapan saja, dengan penyebabnya yang berbagai-bagai itu. Walau demikian tentu saja, takdir manusia hidup dan mati, tentu saja sudah ditentukan oleh Allah SWT  sejak penciptaan dimulai.  Ironi tentang kematian dengan segala keindahannya ditulis Meitha  dengan larik-larik puisi seperti ini: Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar!!//

Sehubungan itu, tak salah kalau Paul Valery, salah seorang tokoh penyair Prancis modern, pernah berkata, bahwa puisi tidak hanya menjangkau dunia terang dalam kehidupan manusia, tetapi juga menjangkau dunia gelap. Dalam pengertian lebih lanjut puisi tidak hanya membongkar alam sadar manusia tetapi juga mengeksplorasi alam ketaksadaran, sebuah pengalaman paling kelam yang mengendap di dasar hati manusia. Pengalaman-pengalaman kelam semacam itu, dengan ukuran dan kualitasnya tersendiri diungkap Meitha KH. Untuk itu pada sisi-sisi tertentu saya merasa  miris, jika apa yang ditulis Meitha itu bersinggungan dengan kesepian, kesunyian, dan kerinduan tanpa ujung, yang semua itu diungkap dalam bayang-bayang sang maut. Puisinya di bawah ini yang diberi judul Bunga Rumput menunjukkan hal itu: Kau pernah bertanya padaku/ tentang tanah, tentang sekutum bunga./ Apakah cinta kita merekah memerah/ serupa mawar merindu rekah.// Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya bahagia.// Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau cabut.// Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing./ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu.// Juni 2011//

 Perasaan cinta yang diungkap dalam puisi di atas, jelas bukan perasaan cinta anak sekolahan, yang gampang putus dan bubar begitu saja. Perasaan cinta yang diungkap dalam puisinya ini adalah cinta yang penuh pengorbanan, yang dengan telak diungkap Meitha dalam dua larik puisinya, yang berbunyi:  Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya bahagia. Apa sebab demikian?  Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau cabut.//

Dalam konteks inilah renungan religius kembali hadir. Mu lirik dalam puisinya ini tidak lagi mengarah kepada mu yang fana, tetapi Mu yang kekal abadi. Dengan tegas diekspresikan Meitha KH seperti ini: Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing/ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu Paling tidak, dalam catatan yang serba ringkas ini, demikianlah Meitha KH telah hadir ke tengah-tengah kita dengan kumpulan puisinya sederhana, namun sarat dengan permainan makna dan suasana. Kemampuan Meitha  dalam menulis puisi liris semacam ini telah menunjukkan bakatnya besar, yang saya yakin akan terus tumbuh dan berkembang di hari kemudian.  Pada sisi yang lain., kehadiran Meitha dalam dunia puisi Indonesia kini telah memberikan warna tersendiri, yang ditulis oleh kaum perempuan. Namun demikian tentu saja sebuah puisi yang baik di mata pembacanya, tidak mengenal itu. Tidak mengenal apakah puisi tersebut ditulis oleh kaum laki-laki ataukah oleh kaum perempuan.
Bahwa apa yang ditulis oleh Meitha KH terasa personal, memang tidak salah. Sebab dunia puisi itu sendiri pada dasarnya ditulis berdasar pada pengalaman yang personal. Jika terjadi komunikasi yang lancar antara pembaca dan penulis puisi, itu artinya ada kesejajaran pengalaman. Inilah yang membuat saya merasa betah membaca puisi-puisi Meitha KH, yang samar-samar terasa surrealis, dan bahkan simbolis. Apa pun yang ditulis dan dihadirkan Meitha KH dalam kumpulan puisinya ini, ada banyak hal yang layak kita petik dan kita simak. Saya percaya sebuah puisi yang baik, akan hadir ke hadapan pembacanya tanpa harus dijelas-jelaskan isinya oleh sebuah kata pengantar. Dengan demikian kata pengantar ini bisa diabaikan.  Sehubungan dengan itu, saya ingin menutup catatan kecil ini dengan puisi Meitha yang lain, yang diberi judul Minggu Puisi. Puisi yang ditulis pada tahun 2010 berbunyi: Pagi yang kasmaran.../ melantun dengan lagu yang sayup-sayup terdengar dari hatimu yang jauh/ rindunya bertaburan seperti bunga pala yang jatuh//  sudah kusapu berulang kali/  tapi wajahmu jatuh ke mataku/  rindumu jatuh ke halaman jantungku/ kita berjumpa di alam kata/  kita bertemu di jejak suara// aku tak tahu harus bicara apa//***

Sajak-sajak Meitha KH di Pikiran Rakyat Online, 26 April 2011.

Mata Kata (Apresiasi Seni & Budaya)

Menautkan Makna

Selasa, 26/04/2011 - 15:14

DALAM kesempatan kali ini, laman Mata Kata kembali hadir menampilkan puisi yang ditulis oleh penyair Meitha Kartika Herdiyanti (Bogor) dan Oky Syeiful Rahmadsyah Harahap (Bandung). Masing-masing penyair menampilkan dua buah puisi, yang ditulis dengan amat sederhana, namun kaya makna. Masing-masing penyair tampil dengan gaya ucap yang berbeda satu sama lainnya. Namun demikian, keduanya secara esensial mempunyai benang merah yang sama, yakni mengeksplorasi kesunyian dengan berbagai variasinya. Titik pijaknya bermuara pada kerinduan, jauh dari kekasih idaman. Atau paling tidak, kedua penyair tersebut tengah menyeru harapan dan impian akan kebahagiaan hidup, yang penuh gairah.

Imaji alam, simbol, metafor apa pun namanya, bisa kita temukan dalam dua puisi yang ditulis oleh Meitha. Apa yang ditulisnya itu cukup efektif dalam mengomunikasikan gagasan kreatifnya. Ini terjadi, karena Meitha benar-benar fokus dalam mengungkapkan pengalaman batinnya, yang dilanda kesunyian dan kesendirian. Baik ketika pengalaman itu digambarkan dengan sebatang pohon dan sebuah potret, maupun dengan laut, senja, dan bulan. Kemampuan semacam ini memang menjadi daya tarik dan bahkan merupakan ciri khas tersendiri dalam sejumlah puisi yang ditulis Meitha, yang sudah dipublikasikannya sejak awal tahun 2000 lalu, ketika masih mahasiswa dulu.

Sementara itu dalam sejumlah puisi Oky, khususnya yang dimuat dalam laman ini, diksi senja dan gerimis yang menjadi kata kunci dalam puisinya itu, secara esensial juga menyiratkan kesunyian. Lepas dari segala kelebihan dan kelemahannya, Oky paling tidak tengah berupaya sedemikian rupa mengungkapkan gagasan kreatifnya tentang betapa fananya manusia berhadapan dengan waktu, yang ditandai dengan kematian. Meski agak tersendat dalam mengekspresikan pengalaman batinnya itu, setidaknya kemampuan dan keberanian Oky dalam menulis puisi cukup dipujikan. Saya yakin, di kemudian hari ia akan menemukan gaya ucap yang lebih pas dari apa yang sudah ditemukannya selama ini.

Berkaitan dengan itu, Meitha tampak lebih punya pengalaman dalam menulis puisi, dibandingkan dengan Oky. Matang dan tidaknya seorang penyair dalam menulis puisi, dalam hal ini dalam mengolah kata dalam larik-larik puisi yang ditulisnya itu, memang sangat bergantung pada jam terbang. Di samping itu, tentu saja juga sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mau membaca perkembangan dan pertumbuhan penulisan puisi itu sendiri, baik yang ditulis oleh para penyair dari dalam maupun luar negeri.

Tujuannya tentu saja bukan untuk mengekor, melainkan untuk melakukan studi banding, bagaimana para penyair tingkat dunia itu dalam mengolah kata, juga gaya ungkap yang menjadi ciri khasnya itu. Misal, betapa bedanya gaya ungkap Rimbaud dengan Tu Fu. Apa yang membedakan keduanya sangat berlainan dalam gaya ungkap itu? Apa itu simbolisme dan apa itu imajis. Semua itu hanya bisa kita cerap perbedaannya, ketika kita berhadapan dengan kedua teks yang ditulis oleh dua penyair tersebut di atas.

Cara belajar semacam ini tentu tidak salah adanya. Lihatlah Chairil Awar, dalam masa-masa pertumbuhannya ia banyak belajar pada para penyair asing, baik para penyair yang tumbuh dan berkembang di Amerika maupun di Inggris dan Perancis. Demikian juga dengan penyair Amir Hamzah dan bahkan penyair Acep Zamzam Noor pun melakukan hal yang sama. Ia tidak hanya belajar pada gaya ucap Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, juga pada Rumi dan Baudelaire.

Selain itu tentu saja harus juga meluaskan wawasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang demikian itu, sebagaimana dikatakan penyair Rendra almarhum, penyair harus menjadikan dirinya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Apa sebab? Agar teks dan konteks tidak saling mematikan, melainkan saling menautkan makna. Selebihnya, selamat berkarya, masa depan berdiri tegak di hadapan. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***

Sajak-sajak Meitha Kartika Herdiyanti

 POTRETMU
             -   untuk Michael Nauli
Pada tanah yang kosong, sebatang pohon menua menanam cerita.
Hatinya bagai selembar daun, terjatuh, bersimpuh di atas batu batu.
Pada tanah yang basah, jiwamu mengakar sampai ke dasar.
Berbisik kisah, merindu kasih, membenam sunyi.
Pada pohon yang sendiri,
Potretmu
begitu abadi.
2011

BULAN ITU
Laut itu mike,
Seperti perjalanan ombak membawa ikan ikan, menepi ke pantai, bergemuruh dalam dada manusia.
Senja itu mike,
Memerah seperti hatiku yang tak berumah.
Meringkas cahaya, mengubur hasrat,
Dalam tanah jiwa bersungai airmata.
Bulan itu mike,
Tak juga abadi..seperti kesedihan dan kebahagian yang silih berganti. Lantas hidup kita menjadi ada, menjadi arti, menjadi tanya.
Di depan laut, saat senja merendah, bulan meninggi di atas kita.
Semoga mimpi kita menjelang sama..
2011

Sajak sajak Meitha KH Dimuat di Pikiran Rakyat edisi 24 Juli 2003

Kemarau

Lampu-lampu redup
Mimpi mimpi susut
Jantungku berdegup
Jalan-jalan hanyut
Kita bertemu di ujung kesekian
Kita berpisah di belokan kesekian
Musim semakin kelam
Bumi semakin hitam
Gerimis pertama jatuh
Menghentak-hentak dalam jiwa terjauh
Menumbuhkan cinta yang rapuh
Tapi kita kembali merindu kayuh

2002


Salju

Kulit lusuh, jari jari basah, dan rambut yang memutih
Menjadi tanda pada hari yang semakin purba
Aku terjemahkan kata kata-Mu yang tak terbaca,
Mencari sejuta cahaya kekal, dan sisa hujan di setiap kota.
Tanganku semakin menghitam, kuku yang menguning, tak mesti kuinsyafi. 

Bukankah telah ada janji, di hari kelak,
Akan Kau bersihkan aku dengan salju – atau justru
Kau hujani aku dengan matahari yang mendekat?
Kemudian aku bertanya pada lumpur, udara, dan langit tertinggi.
Tapi mereka tak pernah tahu keberadaan-Mu.
Bayanganku terkubur,
Tangisku terkubur bersama bahasa yang berbeda-beda itu,
Dan segala pemahamanku.
Aku tak pernah menemukan-Mu, tapi aku bisa merasakan-Mu.

2002


Aku Juga

Aku juga punya sajak, dengan halaman tak tercatat
Aku juga punya artikel, tergantung di kabel otak
Aku juga punya esai, dengan Tanya dan jawab yang tak usai.
Sajakku, artikelku, dan esaiku
Tak tertulis lewat kertas, tak terucap dengan kata
Berlarian, berpapasan, dan berlupakan.
Dan kamar kita memang tak pernah menyimpan cinta
Hanya sajak-sajak yang terserap
Di dingin dinding dan jendela kaca

2002




Formentera

Aku teriakkan namamu di puncak tebing cala saona
Lalu menara El pilar de La Mola membisikkan gema
Suara serakku bercampur kerinduan yang tertua.
Tak ada jawaban memang,
Hanya desir angin dan lembur pasir
Menyelesar ke dalam batinku.
Kuteguk bergelas-gelas Hierbas
Sambil mencarimu di antara minuman dan
Makanan khas Es Calo den San Aqusti.
Bahkan di pulau ini,
Formentera dengan sejuta keindahannya
Hanya mencatatmu dengan ayat-ayat cinta
Yang tak terucapkan!

2002

Sajak Sajak Meitha KH (Edisi Terbit, Media Indonesia; 11 Agustus 2002)


Parangtritis

Aku hampiri gunung
Yang pernah kau lagukan untukku
Masih ada nada itu
Pada celah celah kabut
Aku hampiri cemara
Ketika lelah kembali menjerat
Tetapi hijau malah terasa sesak
Aku hampiri pantai
Dalam lingkaran bentengan bukit
Dan kususun rakit kerinduan
Yang bertumpuk
Kini tak lagi kuhampiri kamu
Setelah angin membawa hatiku
Setelah gelombang menerpa pasir tepi laut

2001



Melankolia

Dulu pernah kauceritakan hutan yang rimba
Dan kini aku pun kembali menjelajahinya
Ternyata masih kurasakan
Patahan patahan cahaya matahari
Dari celah celah yang tinggi
Mengecup keningku
Dan memang di sini
Aku tak mungkin sendiri
Andainya aku tanah
Maka kau seperti akar pepohonan
Yang merejam ke arah jantungku

2000


Jika

Jika cinta adalah bulan
Maka kau seperti silangan cahaya
Yang sembunyi di antara pepohonan

2002

Nikah



Nikahkanlah hatimu dengan hatiku,
seperti awan memeluk hujan
dan angin meringkas badai.

Nikahkanlah detakmu dengan debarku,
seperti debar petir menyentuh tanah,
menyingkap gelisah.

2011

Mesin Waktu


Inikah jalan kita,
Jarum jam, menit dan detik,
berhitung kecemasan,
mengeja garis tangan,
mengharu dalam lagu di matamu.
Kemana jurusan kita,
setelah pukul lima aku datang kepadamu.
Trans Jakarta terlalu lambat dan sesak di kalbuku.
Kau, menunggu di arah mesin waktu.
Inikah tanda tanya,
gedung gedung tua membelakangi kamar kita.
Aku lelah..
dan kamu terlalu indah.

2011