Sabtu, 25 Oktober 2025

Paket (Cerita Pendek karya Meitha KH)

 


"Paket!" suara bariton terdengar dari luar pagar. Titin yang sedang mengepel lantai sore itu bergegas membuka pintu dengan daster lusuh di tubuhnya. Rambutnya yang panjang, ia gulung ke atas dan diikat dengan jepit hitam.

"Rumahnya Pak Dadang?" tukang paket bertanya sambil memegang ponsel di tangannya. Titin mengangguk dan membayar paket tersebut. Sebuah kotak kecil dengan alamat yang benar.

"Paket siapa, Bu? Mainan buat Ade ya?" Anak lelaki berusia empat tahun itu memburu paket yang diletakkan Titin di atas meja. Sudah lama ia minta dibelikan mobil-mobilan kepada ayahnya. Tapi sampai sekarang, mainan itu tak kunjung datang.

"Bukan. Itu paket untuk ayahmu. Mungkin isinya cat air atau kuas." Titin kembali melanjutkan pekerjaannya mengepel lantai, mencuci pakaian, dan memasak.

Di rumah sederhana itu, Titin mempertaruhkan masa depannya demi sebuah pernikahan. Dengan latar belakang pendidikan sarjana, Titin rela meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang guru sekolah swasta dan pindah ke kampung halaman suaminya. Ajaran agama yang ditekuninya sejak kecil, membuat Titin yakin bahwa patuh kepada suami itu selain kewajiban, juga merupakan perbuatan yang mulia dan mendapat pahala.

Kepindahannya yang baru satu tahun ke kampung halaman suaminya di Cianjur, ternyata tidak membuat kehidupan mereka lebih baik. Titin yang kini mengajar di Taman Kanak-Kanak dekat rumahnya, hanya diberi honor kurang dari 900 ribu setiap bulan. Sedangkan Dadang, suami Titin, menjual lukisan abstrak yang kadang laku kadang tidak. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, Titin membuat makanan ringan dan dititip di warung dekat rumah mereka.

"Kang, itu ada paket di meja." Dadang yang baru pulang dari pos ronda malam itu, bergegas membuka kotak yang berisi cat air dan kuas. Dugaan istrinya tidak melesat. 

"Itu harganya 70 ribu, tadi aku bayar pakai uang modal dagangan," ucap Titin sambil menunggu suaminya mengganti uang yang terpakai.

"Wah, aku gak ada uang. Pinjam dulu lah, nanti kalau lukisan laku, aku ganti!"

Bukan sekali pria yang bergelar suami itu menjanjikan kata-kata sakti. Faktanya, berapa pun uang Titin yang dipinjam suaminya, tak pernah kembali. Seringkali Titin belajar memahami, bahwa keahlian suaminya melukis abstrak itu, ternyata tidak menghasilkan uang yang memadai. Jika satu lukisan laku, Dadang hanya mendapat 700 ribu. Itu pun tidak setiap bulan, lukisan Dadang laku terjual.

"Masak apa, Bu?" jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dadang yang baru bangun, membuka tudung saji di atas meja makan. Tahu goreng dan tumis wortel sudah tersedia dengan rapi tertata.

"Kang, gimana mau dapat rezeki. Bangunnya saja siang. Apa enggak mau bangun subuh, salat, mandi, terus melukis dengan serius."

"Kamu ini gimana sih, Bu! Aku kan semalam dari pos ronda. Biasa, ngobrol sama pak RT dan bapak-bapak di blok C."

"Pulang dari pos ronda bukannya jam 10 malam? Harusnya Akang langsung tidur, bukannya nonton sampai jam 2 malam. Lagian, ngapain tiap hari nongkrong di pos dari sore sampai malam, memangnya Akang dibayar?"

"Bu, Ibu ini enggak ngerti ya. Sebagai pedagang lukisan, kita itu harus banyak bergaul. Siapa tahu, ngobrol dengan banyak orang, akan ada yang beli lukisanku. Ini namanya strategi marketing, Bu! Makanya, kalau enggak mengerti dunia seni, jangan ikut campur!"

"Bu, kopi!" Dadang duduk di teras rumah, menunggu istrinya membuatkan kopi. Kedua tangannya itu, lebih sering memegang ponsel dan kuas, daripada menyeduh kopi sendiri. Padahal ia tahu, istrinya sedang mencuci piring di dapur.

"Kang, itu yang di meja, enggak dimakan?" sambil menaruh kopi panas di meja teras, Titin mengamati sosok suaminya. Lingkaran mata yang menghitam, perut buncit, dan rambut gondrong. Sedangkan Titin, selalu menjaga kebersihan dirinya. Kulit Titin yang bersih dan mulus itu, tidak terlihat seperti perempuan yang mengalami kesusahan finansial.

"Aku enggak bisa makan sayur. Ibu juga tau kan? Kenapa masak itu?" Dadang menjawab pertanyaan Titin tanpa menatapnya sedikit pun.

“Kang, uang dari Akang itu 700 ribu bulan ini, ditambah honorku 800 ribu. Jadinya 1 juta 500 ribu. Nah, bayar listik dan internet saja sudah 500 ribu. Belum lagi rokok Akang 2 bungkus satu hari. Jadi sisa 300 ribu. Uang sisa itu, aku belikan beras, minyak, dan telur. Jadi habis ya?” Titin mengatur napasnya sambil menjelaskan panjang lebar soal kebutuhan rumah tangga mereka. Selama ini, Dadang seolah tidak mau tahu dengan rincian pengeluaran yang diatur istrinya.

“Bukannya, Ibu jualan camilan?” kali ini, intonasi yang disuarakan Dadang dalam pertanyaannya sedikit berbeda. Mirip seorang penyidik ketika menghadapi tersangka.

“Keuntungan daganganku itu, rata-rata 40 ribu sehari. Dari uang itu, Akang bisa minum kopi dan makan sayur, tahu, atau ikan asin. Soalnya, aku juga harus menyisihkan 10 ribu untuk ongkos mengajar.”

“Enggak mungkin. Memangnya, Ibu enggak beli sabun, bedak, lipstik, dan lain-lain? Ibu jujur sama Akang. Apa ada laki-laki yang  kasih uang?”

Astagfirullah. Titin mengucap istigfar dalam hati. Bagaimana mungkin suaminya berpikir sejauh itu. Selama menikah, Titin tidak pernah menemui lelaki mana pun.

“Kenapa Kang Dadang suudzon? Kadang-kadang ada tambahan 100 ribu dari sekolah.”

“Tuh kan, Ibu bohong. Berarti selama ini gaji Ibu bukan 800 ribu? Pantesan Akang suka heran, kok Ibu bisa beli bedak. Memangnya, dandan buat siapa? Supaya dilihat laki-laki di jalan?”

Titin berlalu meninggalkan suaminya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Sambil menangis karena merasa sakit hati tidak dipercaya suami sendiri, Titin berpikir lagi, mengapa gara-gara masak tumis wortel, urusannya bisa sepanjang ini.

“Paket!” suara yang tidak asing menyapa telinga Titin. Satu minggu berlalu sejak perdebatan dengan suaminya, Titin lebih banyak diam. Ia hanya mengamati perilaku suaminya yang tidak juga berubah. Sebuah motor di depan rumah, hanya menjadi hiasan. Padahal Titin sudah menyarankan, agar suaminya mencari penghasilan tambahan dengan jasa ojek online.

“Ya, Mas. Untuk Pak Dadang ya?”

“Iya, Bu. Ini paketnya!” sebuah kotak yang cukup besar diserahkan. Kali ini Titin tidak tahu apa isinya. Tidak semua paket yang ditujukan untuk suaminya itu, diketahui oleh Titin. Kadang-kadang, Titin juga tidak peduli dengan isinya.

“Berapa?”

“Sudah dibayar, Bu. Permisi!” tukang paket itu berlalu dari hadapan Titin. Sebenarnya Titin heran, tumben suaminya membayar belanjaannya di muka.

            “Selamat siang, Bu!” Baru saja Titin hendak menutup pagar, dua pria berbadan tegap turun dari kendaraan roda dua. Mereka menahan pagar itu agar bisa masuk ke dalam rumah.

            “Siang, Pak! Maaf, Bapak-bapak ini mau bertemu siapa?” perasaan Titin sudah tidak enak.

            “Pak Dadang ada?” kedua pria masih berdiri sambil mengamati sekeliling rumah.

            “Kebetulan suami saya sedang keluar, Bapak dari mana?” Titin bersiap mengambil ponsel dan akan menghubungi suaminya. Biasanya, sepulang mengajar, suaminya ada di rumah.

            “Kami dari Bank Surya, mau menagih pinjaman yang sudah telat 3 bulan.” Tentu saja Titin terkejut. Selama ini, suaminya tidak pernah memberi tahu soal utang. Titin jelas sakit hati, sebab Titin merasa turut berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan mereka dan selalu terbuka masalah keuangan.

            Sejak hari itu, Titin dan anaknya pulang ke rumah orangtua Titin. Meskipun Dadang sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, Titin masih tinggal di rumah orang tuanya. Hanya dua kali Dadang menghubungi Titin melalui ponsel. Setelah itu, Dadang sibuk dengan lukisan-lukisannya.

            Enam bulan lebih berlalu sejak Titin meninggalkan rumah. Dadang yang baru beranjak dari tempat tidur tepat pukul 11 siang, dikejutkan dengan suara pria di depan rumah.

            “Paket!”

Baru juga bangun, sudah ada gangguan. Dadang keluar membuka pagar. Lelaki itu berdiri di hadapannya. Dengan amplop coklat dibungkus plastik di tangan lelaki tersebut.

“Pak Dadang?” pria itu memastikan kalau rumah yang ia kunjungi adalah rumah Dadang.

“Iya, Pak. Paket untuk saya?”

“Betul Pak!”

Dadang membuka amplop setelah tukang paket pergi dari rumahnya. Seingat Dadang, ia tidak memesan apa pun. Tak lama Dadang tertegun. Ia membaca surat panggilan yang berasal dari Pengadilan Agama. Ia tidak pernah menduga, kalau Titin menggugat cerai dirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar