Translate

Senin, 31 Oktober 2022

Prosesi Wisuda STIBA Ar-Raayah Tahun 2022 diselenggarakan di Tempat yang Aesthetic

 

Sukabumi – Penyelenggaraan prosesi wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) Ar-Raayah angkatan ke-VII tahun 2022 kali ini, dilaksanakan di Grand Cikareo Regency Sukabumi.

Ada yang berbeda dengan tempat yang dipilih oleh panitia wisuda kali ini. Mereka memilih tempat yang begitu menarik atau dikenal dengan bahasa Aesthetic. Tempat ini merupakan perumahan baru berkonsep Eropa yang memiliki beberapa fasilitas seperti gedung pertemuan, tempat penginapan, wahana arung jeram, café, dan lain-lain. Beberapa tempat di area itu. memang sangat instragamable, sehingga tidak sedikit dari keluarga dan wisudawan/ wisudawati yang berfoto seusai acara tersebut.

 

Dengan tema “Meningkatkan literasi Informasi dan Komunikasi Teknologi Dalam Menyongsong Era Baru STIBA Ar-Raayah,” acara ini dibuka dengan pidato yang disampaikan oleh Dr.Budiansyah selaku ketua STIBA Ar-Raayah.

 

Setelah pemanggilan nama-nama wisudawan/wati selesai, acara dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada mahasiswa/I terbaik dan peraih IPK tertinggi. Wisudawan tersebut adalah Alif Fadhilah Prasetyo (Prodi Pendidikan Bahasa Arab), Nurul Syuhada (Prodi KPI), Maya Nurhaliza (Prodi Pendidikan Bahasa Arab) dan M.Izzul Musthafa (Prodi KPI).

 

Berbeda dengan lulusan kampus lain, sarjana STIBA Ar-Raayah diharuskan membacakan sumpah untuk setia kepada agama dan melaksanakan perintah Allah SWT. Sehingga, ilmu yang didapatkan selama kuliah di kampus tersebut, dapat terus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Acara ditutup dengan doa dan foto bersama. Wisudawan dan keluarga dipersilakan untuk berfoto di atas podium. Sedangkan peserta acara lain, seperti para tamu undangan dan dosen, dapat melanjutkan makan siang di lantai 2.

 

Selepas acara tersebut, tentu para tamu, keluarga, dan wisudawan tidak lantas bergegas pulang. Mereka menikmati suasana Grand Cikareo dengan cuaca yang baik saat itu. Beberapa spot dipilih untuk sekadar foto selfie atau bersama teman terdekat. Tempat ini sungguh di luar dugaan. Selain aesthetic, Grand Cikareo Regency juga menarik untuk dijadikan pilihan hunian keluarga.




 

 


Pengaruh Iman Terhadap Prilaku Muslim

 radarndonesia.com

 

Dalam diri seorang muslim tentunya melekat dengan kata “iman”. Kata “iman” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengandung arti kepercayaan, keyakinan, dan ketetapan hati. Dalam bahasa Arab, perkataan iman diambil dari kata kerja ‘aamana’-‘yukminu’ yang berarti ‘percaya’ atau membenarkan. Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syariat, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, dan amalan dengan anggota badan.

 

Oleh karena itu, ketika seseorang sudah yakin dan percaya pada sesuatu—dalam hal ini agama dan Tuhan—tentu rasa khawatir yang muncul dalam setiap aspek kehidupan, tidak akan direspon secara berlebihan. Misalnya, ketika seseorang kehilangan harta benda, reaksi manusia tentu berbeda-beda dan itu bergantung pada tingkat keimanan seseorang. Bagi mereka yang iman, ketika kehilangan sesuatu, seorang muslim seharusnya melakukan introspeksi terhadap dirinya lantas meikhlaskan apa yang hilang tersebut dan percaya kalau Allah akan menggantinya dengan hal yang lebih baik.

Namun yang terjadi pada banyak manusia, reaksi berlebihan yang muncul, seperti menangis menjerit-jerit, menyesal, meraung-raung, atau menyalahkan orang lain. Sikap-sikap seperti itu muncul karena rasa percaya terhadap Allah SWT—sebagai pengatur dan pemberi takdir—kurang diimani.

Konsekuensi dari sebuah keimanan dalam agama Islam adalah terikat dengan hukum syara’ (mengikuti hukum-hukum Allah). Allah sendiri memberikan potensi kepada umatnya berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani tersebut dinamakan Hajatul Udlowiyah yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, seperti  kebutuhan minum, makan, bernapas, dan lain-lain. Jika hajjatul udlowiyah tidak segera dipenuhi maka akan mengakibatkan kematian.

 

Kebutuhan yang kedua yang disebut dengan Gharizah adalah potensi yang diberikan Allah SWT berupa kecenderungan/ dorongan untuk melakukan sesuatu jika ada rangsangan eksternal. Gharizah ini memiliki beberapa macam yakni; Gharizah Tadayun (kecenderungan manusia untuk mensucikan, mengagungkan, dan menghormati sesuatu), Gharizah Nau (kecenderungan manusia untuk berkasih sayang terhadap orang tua, saudara, dll., Gharizah Baqo (kecenderungan manusia untuk melawan terhadap sesuatu yang mengancam dirinya atau yang akan mengambil haknya. Dan jika gharizah ini tdak segera dipenuhi maka akan menimbulkan kegelisahan dalam diri manusia.

 

Tidak heran, ketika seseorang merasa gelisah dan hidupnya tidak pernah tenang padahal hartanya berlimpah, bisa jadi semua itu dikarenakan kurangnya pemenuhan kebutuhan gharizah tersebut.

Semua potensi atau kebutuhan tersebut sudah diberikan petunjuk oleh Allah SWT dengan adanya “aturan” dan role model yang paripurna berupa hukum syara dan Rasul kita yakni Muhammad Saw.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan dia dan apa yang dilarang-Nya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. AlHasyr:7)

 

Aturan atau hukum syara yang dimaksud adalah seruan Allah sebagai pembuat hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia berupa ketetapan yang sumbernya pasti (Al-Qur’an) dan hadist. Jenis-jenis hukum syara’ tersebut terbagi kepada lima yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Ketaatan terhadap hukum syara ternyata dapat membentuk kepribadian seorang muslim yang terdiri dari unsur-unsurnya: pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Dengan dua unsur ini, seorang muslim akan menerima atau memberikan setiap ide dengan standar tertentu, juga melakukan segala perbuatan yang mempertimbangkan landasan Islam.

Berkaitan dengan uraian di atas, dapat kita analisis bawa perilaku seorang muslim didasarkan pada tingkat keimanannya. Dan tingkat keimanan tersebut dapat terpancar melalui perilaku yang sesuai dengan hukum syara dan membentuk kepribadian seorang muslim yang baik.

Rasa iman/ percaya/ yakin, tidak semata-mata bisa didapatkan dengan perasaan. Rasa percaya akan tumbuh jika dibarengi dengan akal dan pola pikir yang selaras dengan aturan Islam. Kesemuanya itu dapat diraup dengan pemenuhan kebutuhan/ potensi yang diberikan Allah SWT berupa Hajatul Udlowiyah dan Gharizah dengan cara yang sesuai dengan aturan Islam.

Seorang muslim dikatakan beriman jika ia selalu menstandarkan perilaku dan pemikirannya kepada Islam, dan sebaliknya jika belum terikat dengan hukum-hukum Allah, keimanan itu belum berpengaruh kepada dirinya. (wallahu a'lam bishawab)

 Meitha KH