Sebuah pohon yang terletak di tengah kawasan kampus putri Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah, dengan bunganya yang bermekaran di musim hujan, selalu menjadi momen yang dinantikan. Pohon besar dan menjulang tinggi itu dijuluki “sakura” oleh seluruh mahasiswi kampus. Julukan itu tidak pernah berubah, selain karena mereka tidak mengetahui nama asli atau jenis pohon tersebut, mereka juga seakan sepakat tanpa diminta atau ditanya untuk tetap menyebutnya demikian. Padahal, pohon tersebut sebenarnya adalah bungur (Lagerstroemia speciosa), yang kerap disebut sebagai “sakura tropis” karena kemiripan bunganya dengan sakura asli dari Jepang.
Setiap kali musim hujan tiba, pohon “sakura’’ akan menampilkan pesona yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kelopaknya yang semula muncul perlahan bermekaran menciptakan pemandangan yang tak pernah membosankan. Mahasiswi yang melintasinya seringkali berhenti sejenak untuk sekadar mengagumi keindahannya atau mengambil bunganya yang berjatuhan.
Pohon “sakura” telah lama menjadi salah satu tempat favorit bagi sebagian mahasiswi. Tak hanya karena rindangnya, tetapi juga karena terdapat sebuah kursi di bawahnya. Tak sedikit mahasiswi yang gemar duduk di sana, bahkan sejak pagi buta ketika langit masih gelap dan matahari belum terbit, kursi tersebut sudah diduduki. Tidak hanya pada pagi buta, di atas rerumputan yang beralaskan karpet plastik beberapa mahasiswi sering berkumpul untuk menyantap sarapan bersama setiap Jumat. Mereka beristirahat sejenak melepas lelah setelah membersihkan lingkungan sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang juga menjadi favorit mereka. Hingga pada siang hari setelah jam kuliah usai, tempat ini tetap menjadi pilihan bagi mereka yang ingin mengulang pelajaran, atau menghafal Al-Qur'an. Sementara itu, saat senja menyapa, langit perlahan berubah menjadi perpaduan warna jingga dan keemasan yang memesona. Suasana yang tercipta begitu menenangkan, seolah mengajak siapapun untuk sejenak berhenti dan merenungi kebesaran-Nya. Beberapa mahasiswi yang tengah lelah dengan tugas dan rutinitas harian sering menjadikan momen senja di bawah pohon ini sebagai waktu untuk refleksi diri. Di bawah langit yang perlahan berubah gelap, mereka mengingat kembali perjalanan yang telah ditempuh, menguatkan tekad untuk melangkah lebih baik di hari berikutnya.
Namun, roda kehidupan terus berputar, dan kini pohon itu telah ditebang karena alasan yang tidak diketahui oleh para mahasiswi. Rerumputan itu kehilangan sosok yang selama ini menaunginya. Kursi itu kehilangan penghuninya. Langit biru kehilangan penonton setianya. Senja pun kehilangan pengagumnya. Yang tersisa hanyalah kenangan indah yang masih melekat di hati para mahasiswi STIBA Ar Raayah.