radarndonesia.com
Dalam diri seorang muslim tentunya melekat dengan kata
“iman”. Kata “iman” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengandung arti
kepercayaan, keyakinan, dan ketetapan hati. Dalam bahasa Arab, perkataan iman
diambil dari kata kerja ‘aamana’-‘yukminu’
yang berarti ‘percaya’ atau membenarkan. Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara
istilah syariat, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, dan
amalan dengan anggota badan.
Oleh karena itu, ketika seseorang sudah yakin dan percaya
pada sesuatu—dalam hal ini agama dan Tuhan—tentu rasa khawatir yang muncul
dalam setiap aspek kehidupan, tidak akan direspon secara berlebihan. Misalnya,
ketika seseorang kehilangan harta benda, reaksi manusia tentu berbeda-beda dan
itu bergantung pada tingkat keimanan seseorang. Bagi mereka yang iman, ketika
kehilangan sesuatu, seorang muslim seharusnya melakukan introspeksi terhadap
dirinya lantas meikhlaskan apa yang hilang tersebut dan percaya kalau Allah
akan menggantinya dengan hal yang lebih baik.
Namun yang terjadi pada banyak manusia, reaksi berlebihan
yang muncul, seperti menangis menjerit-jerit, menyesal, meraung-raung, atau
menyalahkan orang lain. Sikap-sikap seperti itu muncul karena rasa percaya
terhadap Allah SWT—sebagai pengatur dan pemberi takdir—kurang diimani.
Konsekuensi dari sebuah keimanan dalam agama Islam adalah
terikat dengan hukum syara’
(mengikuti hukum-hukum Allah). Allah sendiri memberikan potensi kepada umatnya
berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani tersebut dinamakan Hajatul Udlowiyah yang berasal dari
dalam diri manusia itu sendiri, seperti
kebutuhan minum, makan, bernapas, dan lain-lain. Jika hajjatul udlowiyah tidak segera dipenuhi
maka akan mengakibatkan kematian.
Kebutuhan yang kedua yang disebut dengan Gharizah adalah potensi yang diberikan
Allah SWT berupa kecenderungan/ dorongan untuk melakukan sesuatu jika ada
rangsangan eksternal. Gharizah ini memiliki
beberapa macam yakni; Gharizah Tadayun
(kecenderungan manusia untuk mensucikan, mengagungkan, dan menghormati
sesuatu), Gharizah Nau (kecenderungan
manusia untuk berkasih sayang terhadap orang tua, saudara, dll., Gharizah Baqo (kecenderungan manusia
untuk melawan terhadap sesuatu yang mengancam dirinya atau yang akan mengambil
haknya. Dan jika gharizah ini tdak
segera dipenuhi maka akan menimbulkan kegelisahan dalam diri manusia.
Tidak heran, ketika seseorang merasa gelisah dan hidupnya
tidak pernah tenang padahal hartanya berlimpah, bisa jadi semua itu dikarenakan
kurangnya pemenuhan kebutuhan gharizah tersebut.
Semua potensi atau kebutuhan tersebut sudah diberikan
petunjuk oleh Allah SWT dengan adanya “aturan” dan role model yang paripurna berupa hukum syara dan Rasul kita yakni Muhammad Saw.
“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dan dia dan apa yang dilarang-Nya bagimu maka
tinggalkanlah.” (QS. AlHasyr:7)
Aturan atau hukum syara
yang dimaksud adalah seruan Allah sebagai pembuat hukum yang berkaitan
dengan amal perbuatan manusia berupa ketetapan yang sumbernya pasti (Al-Qur’an)
dan hadist. Jenis-jenis hukum syara’
tersebut terbagi kepada lima yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Ketaatan terhadap hukum syara
ternyata dapat membentuk kepribadian seorang muslim yang terdiri dari
unsur-unsurnya: pola pikir (aqliyah)
dan pola sikap (nafsiyah). Dengan dua
unsur ini, seorang muslim akan menerima atau memberikan setiap ide dengan
standar tertentu, juga melakukan segala perbuatan yang mempertimbangkan
landasan Islam.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat kita analisis bawa
perilaku seorang muslim didasarkan pada tingkat keimanannya. Dan tingkat
keimanan tersebut dapat terpancar melalui perilaku yang sesuai dengan hukum
syara dan membentuk kepribadian seorang muslim yang baik.
Rasa iman/ percaya/ yakin, tidak semata-mata bisa didapatkan
dengan perasaan. Rasa percaya akan tumbuh jika dibarengi dengan akal dan pola
pikir yang selaras dengan aturan Islam. Kesemuanya itu dapat diraup dengan
pemenuhan kebutuhan/ potensi yang diberikan Allah SWT berupa Hajatul Udlowiyah
dan Gharizah dengan cara yang sesuai dengan aturan Islam.
Seorang muslim dikatakan beriman jika ia selalu
menstandarkan perilaku dan pemikirannya kepada Islam, dan sebaliknya jika belum
terikat dengan hukum-hukum Allah, keimanan itu belum berpengaruh kepada
dirinya. (wallahu a'lam bishawab)
Meitha KH