Senin, 23 Juni 2025

Laut Bercerita: Monumen Sastra untuk Korban yang Terlupakan (Resensi Novel oleh Andi Aulia Marisa)

 

Judul Buku    : Laut Bercerita

Pengarang      : Leila S. Chudori  

Tahun Terbit   : Cetakan ke-1, 2017

Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)  

Genre              : Fiksi Sejarah  

Peresensi         : Andi Aulia Marisa
 



Laut Bercerita adalah novel yang menyentuh sekaligus menggugah, mengisahkan tentang kehilangan, ingatan, dan keberanian menghadapi luka sejarah. Leila S. Chudori menghadirkan narasi yang kuat tentang korban penghilangan paksa, khususnya pada masa 1998, melalui dua sudut pandang: Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang diculik, dan Asmara Jati, adiknya yang berjuang mencari kebenaran.  

Novel ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama bercerita tentang Laut, pemuda idealis yang mencintai laut, sastra, dan percaya pada perubahan. Kehidupannya berubah drastis ketika ia menjadi salah satu korban penculikan aktivis 1998. Bagian kedua mengisahkan perjalanan Asmara Jati, yang tak pernah berhenti mencari jejak kakaknya. Melalui surat-surat Laut, arsip-arsip tua, dan ingatan yang tersisa, pembaca diajak menyelami kepedihan sekaligus keteguhan keluarga korban.  

Kelebihan novel ini terletak pada karakter-karakter yang dibangun dengan sangat hidup. Laut digambarkan sebagai sosok yang penuh semangat, cinta pada kebebasan, dan memiliki ikatan kuat dengan keluarganya. Sementara Asmara Jati mewakili suara mereka yang terus berjuang melawan lupa, meski harus berhadapan dengan ketakutan dan ketidakpastian.  

Bahasa yang digunakan Leila S. Chudori puitis namun mengalir lancar, membuat setiap adegan terasa intim dan emosional. Adegan ketika Laut menulis surat untuk keluarganya atau saat Asmara Jati menjelajahi arsip-arsip lama begitu memikat, seolah pembaca ikut merasakan kerinduan dan keputusasaan yang mendalam.  

Meskipun Laut Bercerita merupakan karya historical fiction yang mengagumkan, novel ini memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya terletak pada penggunaan alur cerita yang tidak linear atau maju-mundur. Teknik penceritaan seperti ini mungkin menyulitkan pembaca yang belum terbiasa dengan struktur narasi yang kompleks.  

Pembaca dituntut untuk lebih konsentrasi dan teliti dalam mengikuti jalan cerita, sebab perpindahan waktu antara masa lalu dan masa kini terjadi tanpa transisi yang selalu jelas. Tanpa pemahaman yang cermat, ada kemungkinan pembaca akan merasa kebingungan dalam menyusun kronologi peristiwa. Meskipun alur campuran ini justru menjadi kekuatan tersendiri bagi sebagian pembaca yang menyukai tantangan, bagi yang belum terbiasa, hal ini dapat mengurangi kenyamanan dalam menikmati kisahnya.  

Dengan demikian, meskipun alur maju-mundur memberikan kedalaman pada penceritaan, tidak semua pembaca dapat dengan mudah mengikutinya. Hal ini menjadi pertimbangan bagi mereka yang lebih menyukai alur sederhana dan kronologis.

Laut Bercerita bukan sekadar novel tentang tragedi politik, tetapi juga tentang ketahanan manusia dalam menghadapi luka. Novel ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak boleh hanya ditulis oleh para pemenang, melainkan juga oleh mereka yang menjadi korban. Leila S. Chudori berhasil memberi suara pada yang bisu, mengembalikan nama pada yang hilang, dan menegaskan bahwa kebenaran seberat apa pun harus terus dicari.  

Bagi pembaca yang menyukai kisah dengan latar sejarah dan kedalaman emosi, Laut Bercerita adalah bacaan yang wajib dinikmati. Novel ini meninggalkan kesan mendalam, mengajak kita untuk tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi juga merenungkan maknanya bagi kehidupan saat ini.


Minggu, 08 Juni 2025

Percakapan antara Mur dan Baut (Cerpen Karya Zaky Yamani): Resensi yang Ditulis oleh Qonita Salsabila (Mahasiswi STIBA Ar Raayah)

 

Ini adalah pandangan pertama, namun ilustrasi spiral hitam-putih yang so psychedelic itu langsung mengganggu mataku. Tidak adakah gaya lain yang lebih menarik hati sang penulis sehingga ia harus menyetujui atau memilih ilustrasi tersebut? Ah, kasihan mata ini.  Tetapi, sebagaimanapun sampul buku itu mengganggu, hatiku keukeuh, ingin tahu cerita apa yang dihadiahkan Kang Zaky Yamani untuk pembaca Indonesia dalam Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya.  

Untukmu yang belum mengenal Zaky Yamani, ia adalah satu dari banyaknya manusia yang Tuhan takdirkan untuk lahir di Bandung pada 27 Juli 1978. Menurut sumber, ia pernah bekerja sebagai jurnalis dan editor di Harian Umum Pikiran Rakyat sejak tahun 2002 hingga 2016. Sedikit mengenai pendidikan Kang Zaky, ia pernah menempuh studi Master of Arts di bidang Jurnalisme di Ateneo de Manila University dengan beasiswa dari Konrad Adenauer Asian Center for Journalism pada tahun 2006 hingga 2008. Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya adalah karya pertama Kang Zaky yang diterbitkan oleh Majelis Sastra Bandung pada Mei 2011.

Setelah 149 halaman HVS bernuansa ivory milik buku kumpulan cerpen itu habis kubaca, secara ajaib mataku memaafkan ilustrasi spiral sampulnya yang tadi sempat mengganggu. Tak ku sangka, bahkan salah satu cerita pendek di sana berjudul Percakapan antara Mur dan Baut berhasil menarik minatku untuk meresensinya.

Kataku Tentang Cerpen “Percakapan antara Mur dan Baut” (halaman 25-29)

1. Sinopsis Cerpen

Mur dan Baut, dua benda mati yang terpasang pada mesin pabrik tua itu sudah seharusnya digiring ke tempat barang rongsokan. “Tapi, Mur, hidup tanpa pilihan adalah sesuatu yang buruk… benar-benar buruk.” Baut menimpali Mur yang sejak beberapa waktu lalu tak bisa menahan hasratnya untuk terus berbicara tentang mirisnya kehidupan manusia, terutama manusia yang bekerja di pabrik itu.

2. Isi Cerpen

Di tengah keheningan malam, baut yang menempel di dinding mesin terlihat resah. Ia sudah berkarat sejak bertahun-tahun. Tapi karatnya selalu dicoba untuk disembunyikan. Ia diolesi cat hitam. Kadang sengaja diolesi lagi dengan minyak oli.

“Hei, Mur, sudah tidur kau?” tanya Baut kepada sahabatnya, Mur. Bermula dari pertanyaan Baut inilah percakapan panjang dan mendalam antara dirinya dan Mur dimulai. Percakapan itu hanya berputar-putar pada satu tema, tentang manusia.

Di antara sunyinya malam dan heningnya pabrik, Per yang merasa waktu istirahatnya ternganggu oleh percakapan dua temannya itu membentak, menyuruh mereka diam. Alih-alih menurut, Baut yang tidak bisa menahan hasratnya untuk mengobrol dengan Mur tetap acuh. Mur, yang entah ingin beristirahat atau tidak hanya menyahut, menimpali semua obrolan yang dilempar Baut padanya.

3. Kelebihan

Cerpen ini berhasil menyajikan perspektif unik dan sederhana dengan dialog imajinatif antara dua benda mati—mur dan baut—yang menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan manusia. Bahasa yang lugas dan efektif menjadikan para pembaca dapat dengan mudah memahami kritik sosial yang tersirat dalam cerpen ini.

Untukmu yang menyukai pendekatan filosofis dan imajinatif dalam cerita, maka cerpen ini adalah pilihan yang sangat cocok untukmu dibandingkan cerpen lainnya di buku ini yang menyuguhkan pendekatan realistis, seperti: Johnny Mushroom, Nihil, Saturday Night’s Lullaby, dan Hangover.

Akan tetapi, kisah dalam cerpen Kambing Gunung Padang Bintang dan Dasamuka di dalam buku ini juga memiliki pendekatan yang sama. Maka dari itu, daya tarik yang tidak dimiliki kedua cerpen tersebut dari Percakapan antara Mur dan Baut adalah kepemilikan cerita yang sangat ringkas. Hal ini berpotensi menjadikan pesan yang terkandung di dalam cerpen Percakapan antara Mur dan Baut lebih cepat tersampaikan kepada pembaca.

4. Kekurangan

Sampul buku bak wajah manusia, nilai pertama pastilah diperuntukkan padanya. Meskipun memiliki desain sampul yang mencolok dan mencerminkan tema buku, yakni tentang kehidupan urban yang terpinggirkan, namun warna cokelat-putih yang sedikit kusam dan ilustrasi spiral yang terpampang pada sampul kurang diminati oleh mata pembaca masa kini. Banyak dari mereka yang lebih tertarik ketika melihat sampul karya-karya Kang Zaky yang lain, seperti sampul buku Bandar, Pusaran Amuk, dan Waktu Helena.

Selanjutnya, dengan benda mati sebagai karakter utama dengan alur cerita yang sederhana, maka kamu akan menemukan keterbatasan karakter dan konflik cerita di dalam cerpen Percakapan antara Mur dan Baut. Akibat keterbatasan ini, mungkin saja kamu akan merasa sulit terhubung secara emosional ketika membacanya.

5. Kesimpulan

Percakapan antara Mur dan Baut adalah satu-satunya cerpen dari ke-15 cerpen lainnya di buku Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya yang berhasil menyampaikan kritik sosial secara kreatif, imajinatif, filosofis, dan ringkas. Dengan beberapa keterbatasannya dalam karakterisasi, alur, dan sampul, cerpen ini tetap menjadi rekomendasi hangat untuk pembaca masa kini.

 

 

 


Senin, 26 Mei 2025

Pohon “ Sakura’’ Tinggal Kenangan (Najma Syahidah, Mahasiswi STIBA Ar Raayah 4 A)


 

Sebuah pohon yang terletak di tengah kawasan kampus putri Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah, dengan bunganya yang bermekaran di musim hujan, selalu menjadi momen yang dinantikan. Pohon besar dan menjulang tinggi itu dijuluki “sakura” oleh seluruh mahasiswi kampus. Julukan itu tidak pernah berubah, selain karena mereka tidak mengetahui nama asli atau jenis pohon tersebut, mereka juga seakan sepakat tanpa diminta atau ditanya untuk tetap menyebutnya demikian. Padahal, pohon tersebut sebenarnya adalah bungur (Lagerstroemia speciosa), yang kerap disebut sebagai “sakura tropis” karena kemiripan bunganya dengan sakura asli dari Jepang.

Setiap kali musim hujan tiba, pohon “sakura’’ akan menampilkan pesona yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kelopaknya yang semula muncul perlahan bermekaran menciptakan pemandangan yang tak pernah membosankan. Mahasiswi yang melintasinya seringkali berhenti sejenak untuk sekadar mengagumi keindahannya atau mengambil bunganya yang berjatuhan.

Pohon “sakura” telah lama menjadi salah satu tempat favorit bagi sebagian mahasiswi. Tak hanya karena rindangnya, tetapi juga karena terdapat sebuah kursi di bawahnya. Tak sedikit mahasiswi yang gemar duduk di sana, bahkan sejak pagi buta ketika langit masih gelap dan matahari belum terbit, kursi tersebut sudah diduduki. Tidak hanya pada pagi buta, di atas rerumputan yang beralaskan karpet plastik beberapa mahasiswi sering berkumpul untuk menyantap sarapan bersama setiap Jumat. Mereka beristirahat sejenak melepas lelah setelah membersihkan lingkungan sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang juga menjadi favorit mereka. Hingga pada siang hari setelah jam kuliah usai, tempat ini tetap menjadi pilihan bagi mereka yang ingin mengulang pelajaran, atau menghafal Al-Qur'an. Sementara itu, saat senja menyapa, langit perlahan berubah menjadi perpaduan warna jingga dan keemasan yang memesona. Suasana yang tercipta begitu menenangkan, seolah mengajak siapapun untuk sejenak berhenti dan merenungi kebesaran-Nya. Beberapa mahasiswi yang tengah lelah dengan tugas dan rutinitas harian sering menjadikan momen senja di bawah pohon ini sebagai waktu untuk refleksi diri. Di bawah langit yang perlahan berubah gelap, mereka mengingat kembali perjalanan yang telah ditempuh, menguatkan tekad untuk melangkah lebih baik di hari berikutnya.

Namun, roda kehidupan terus berputar, dan kini pohon itu telah ditebang karena alasan yang tidak diketahui oleh para mahasiswi. Rerumputan itu kehilangan sosok yang selama ini menaunginya. Kursi itu kehilangan penghuninya. Langit biru kehilangan penonton setianya. Senja pun kehilangan pengagumnya. Yang tersisa hanyalah kenangan indah yang masih melekat di hati para mahasiswi STIBA Ar Raayah.