Rabu, 10 Juli 2024

Di Antara Kubah dan Ledakan (Cerpen Tulipbiru)

 


Hana menatap keluar jendela metro Paris, memandangi lanskap kota yang terburu-buru berlalu. Cahaya pagi memantulkan warna-warni kaca gedung-gedung tinggi, menciptakan bayangan abstrak di permukaan jalan yang basah. Hana menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma khas Paris yang bercampur dengan wangi kopi dan roti segar yang baru dipanggang. Perjalanan rutin yang dilakukannya setiap hari, namun selalu memberikan sensasi yang berbeda.

Dia menarik hijab biru lautnya lebih rapat, yang menutupi rambutnya dengan rapi, kontras dengan kulit putihnya. Tunik putih panjangnya yang longgar mengalir hingga ke lutut, dengan celana panjang biru yang kontras dengan hijabnya menambah kesan anggun dan elegan.

Metro berhenti di stasiun Bir Hakeim, sekilas Menara Eiffel yang megah dari kejauhan, terlihat di antara gedung-gedung kota. Pont de Bir Hakeim, jembatan yang menawarkan pemandangan spektakuler Menara Eiffel, yang biasanya Hana hanya melihat di film-film bioskop.

Ini hari keempat Hana di Prancis untuk petualangan dan travelingnya mengunjungi beberapa bangunan muslim bersejarah. Meski tahu komunitas muslim di Prancis sedikit dan tingkat diskriminasi yang tinggi, Hana tidak peduli karena tekadnya yang sungguh besar sudah menjuarainya. Di hari keempat ini, Hana belum mendapatkan hal-hal yang aneh, kecuali tatapan orang-orang yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Pengumuman stasiun berikutnya, Place Monge, memecah keheningan di dalam kereta. Hana bersiap-siap untuk turun. Ketika pintu kereta terbuka, ia mengikuti arah petunjuk menuju masjid.

Grand Mosquee de Paris muncul di hadapannya, bangunan megah dengan kubah besar dan menara tinggi yang menjulang. Hana menghela napas panjang, merasakan kekaguman yang mendalam. Memasuki halaman masjid, Hana disambut oleh senyuman ramah dari beberapa pengunjung lain. Suasana di dalam masjid sangat tenang dan damai, berbeda jauh dari hiruk-pikuk kota di luar sana. Hana berjalan-jalan di sekitar, menikmati keindahan arsitektur dan detail-detail artistik yang menghiasi setiap sudut bangunan. Dengan penuh antusias, Hana mengambil gambar di setiap sudut bangunan dengan kamera kunonya. Ia mengabadikan setiap detail, dari ornamen-ornamen indah di pintu gerbang hingga kaligrafi yang menghiasi dinding dalam masjid.

Setelah beberapa waktu, Hana melanjutkan perjalanannya ke Institut du Monde Arabe (Institut Dunia Arab). Gedung modern ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat budaya, tetapi juga sebagai tempat untuk mengenal lebih jauh tentang kontribusi dunia Arab dan Islam terhadap peradaban. Hana menghabiskan beberapa jam di sana, mengagumi pameran-pameran dan mempelajari lebih banyak tentang warisan budaya yang kaya. Di setiap pameran yang menarik baginya, Hana tak lupa mengambil beberapa jepritan kamera untuk diabadikannya, memastikan tidak ada detail yang terlewatkan.

Tiba-tiba suara perut Hana menggerutu keras, tanda bahwa dia sangat membutuhkan sesuatu yang harus diisi di perutnya. Dan akhirnya memutuskan untuk mencari kafe terdekat.

Di tengah langkah ringan, Hana menyusuri jalanan Paris yang beraroma kopi dan roti segar, matanya menelusuri deretan toko dan bistro kecil, tiba-tiba seorang anak kecil perempuan dengan wajah khas Paris menghampiri Hana yang tersenyum ramah. Anak itu bertanya mengapa Hana menutup kepalanya dengan kain, merasa Hana berbeda dari orang lain di sekitarnya.

Sebelum Hana sempat menjawab, orang tua anak itu mendekat dengan tergesa-gesa. Wajah sang ibu tampak ketakutan, dia mendorong Hana hingga terjatuh ke trotoar. seketika seorang perempuan Prancis mendekatinya, membantu Hana berdiri, dan membela Hana dengan tegas. Hana mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur. Perempuan itu tersenyum ramah, merasa bahwa membantu sesama muslim adalah kewajiban mereka.

Hana terkejut mengetahui bahwa perempuan di depannya juga seorang Muslimah. Perempuan itu kemudian menanyakan tujuan Hana dengan penuh perhatian dan menawarkan untuk mengantarnya ke kafe terdekat. Di kafe, perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Claire dan mulai bercerita tentang masa lalunya. Orang tuanya meninggal dalam serangan teroris yang dikabarkan pelakunya adalah muslim, terlepas dari kabar itu Claire merasa perlu menyembunyikan identitas keislamannya dengan tidak memakai hijab. Hana pun memahami alasan ketidakpercayaan masyarakat Prancis terhadap komunitas muslim, meskipun kenyataanya bukan seperti itu.

Dua gadis ini terus melanjutkan percakapan mereka, hingga akhirnya mereka harus berpisah. Setelah bertukar nomor, mereka berdua berpisah di depan kafe. Hana melanjutkan perjalanannya menuju apartemen karena langit sudah gelap, menandakan waktu sore yang semakin menua.

Hari ini hari terakhir Hana di Prancis, Hana ingin mengakhiri penjelajahannya dengan mengunjungi Departemen of Islamic Art, museum seni terbesar di dunia yang mengoleksi seni dan artefak-artefak Islam.

Pagi itu, Hana memilih untuk mengenakan pakaian yang sopan dan elegan dengan tunik coklat, celana longgar hitam, dan hijab krem yang siap menemani keseharian Hana. Seperti biasanya, Hana menaiki metro sambil membaca buku L’Islam, Religion et Civilisation.

 Di tengah-tengah ketenangan Hana ketika sedang membaca seorang pemuda Prancis yang berperawakan rapi dan ramah membaca judul buku yang dipegang Hana. Dia mengungkapkan kekagumannya pada pendapat Regis Blachere dalam bukunya ini.

Hana setuju, menyebut buku ini sebagai pegangan yang baik mengenai islam sebagai peradaban, budaya, hukum, dan politik. Hana tertegun, memandang pemuda itu dengan rasa ingim tahu. Dia bertanya mengapa pemuda itu tertarik pada buku ini. Pemuda itu menjelaskan bahwa dia sering membaca buku-buku Islami. Hana menduga pemuda itu adalah seorang muslim, tetapi enggan bertanya lebih lanjut. Pemuda itu mengamati bahwa baru kali ini ia melihat perempuan berhijab di metro dan bertanya apakah Hana seorang pendatang. Hana menjelaskan bahwa dia berasal dari Indonesia dan menjelaskan tujuannya ke Prancis.

Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka saling memperkenalkan diri dan bertukar cerita serta pandangan.

Hana merasa ada kecocokan dalam cara pria ini berbicara, pandangannya tentang islam, dan sopan santunnya. Dalam hatinya, Hana berbisik, mencoba mengendalikan perasaannya.

Antoine kemudian menanyakan tujuan Hana yang ternyata tujuan mereka sama. Antoine pun menawarkan untuk pergi bersama. Hana merasa ragu sejenak, namun kemudian setuju.

Saat mereka tiba di Departemen of Islamic Art, Hana begitu takjub dengan arsitektur bangunannya yang begitu indah. Menara-menara megah dan ukiran-ukiran halus menghiasi setiap sudutnya. Beberapa pengunjung muslim yang datang menyinari pemandangan Hana. Pria itu mulai menceritakan sejarah dibangunnya bangunan ini, suaranya tenang dan penuh pengetahuan.

Mereka berdua mengelilingi museum, terpukau oleh berbagai koleksi yang dipamerkan. Hana melangkah perlahan di lorong-lorong museum, matanya menelusuri setiap detail artefak-artefak dengan penuh kekaguman, seakan dunia sekitarnya menghilang.

Saat tiba di stand akhir, dekat pintu keluar, perasaan tidak enak mulai merayap di hati Hana.

Tiba-tiba, ledakan bom keras mengguncang sudut gedung hingga menghantam mereka yang berada di kejauhan. Hana terjatuh, batuk-batuk tak berdaya, tubuhnya terluka terkena serpihan bangunan.

Ia mencari Antoine, tetapi tidak menemukannya, di belakangnya atau pun di sekitarnya. Tubuhnya mulai lemas, dan terjatuh diatas lantai yang berdebu.

 

Aroma antiseptik memenuhi udara di Hospital de la Pitie Salpetriere. Hana terbaring di tempat tidur dengan peralatan medis di sekitarnya. Seorang suster tersenyum lembut dan menanyakan kondisinya saat Hana membuka matanya dan memberikan buket mawar putih serta card kecil yang bertuliskan “I’m sorry Hana”, dengan nama Antoine dibawahnya. Hana tercekat, hatinya bergetar membaca nama tersebut.

Pikiran Hana langsung dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Kenapa Antoine mengirim bunga? Bukankah dia juga terluka? Kenapa dia meminta maaf? apa dia membuat kesalahan? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya semakin bingung. “Apakah semua korban dari bom di Department of Islamic Art ini ditempatkan di rumah sakit ini?” tanya Hana antusias. Suster itu mengangguk dan bertanya apakah ada yang bisa dibantu. “Apa ada pasien yang bernama Antoine disini sus?”.

Setelah beberapa detik, suster itu menggelengkan kepala menandakan bahwa tidak ada nama pasien tersebut.

Hana terperangah? Bagaimana mungkin? Antoine seharusnya ada di sini. Mungkinkah ada kaitannya dengan ledakan itu? Prasangka buruk mulai menyusupi pikirannya. Rasa pusing semakin kuat, seperti menghimpit kepalanya, ia memilih  memjamkan mata dengan harapan bisa tidur dan melupakan sejenak semua kegelisahan yang melanda.

Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Hana dibolehkan untuk pulang. Hana memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia hari ini juga, ia langsung memesan tiket dan mengemas barang-barangnya di apartemen.

Ketika Hana tiba di bandara, di tengah beratnya langkah, ia berharap melihat Antoine di antara kerumunan untuk pertemuan terakhir di negeri ini.

Namun, penantiannya sia-sia. Suara pengumuman keberangkatan pesawatnya mematahkan semua harapannya. Saatnya beranjak pergi, meninggalkan Prancis dan semua kenangan yang tak pernah terlupakan, dengan langkah gontai menuju gerbang keberangkatan.

 

 

 

BIOGRAFI PENULIS:

Najwa Bukhari, lahir di Banda Aceh, 21 April 2002. Mahasiswi Fakultas Pendidikan Bahasa Arab, STIBA Ar-Raayah Sukabumi. Cerpen pertama yang berjudul “Di antara Kubah dan Ledakan” menandai awal perjalanan saya dalam dunia penulisan.

Melalui cerpen “Di antara Kubah dan Ledakan” saya berharap bisa menginspirasi pembaca dengan cerita perjalanan seorang muslimah yang penuh petualangan dan tantangan di negeri non muslim, dan ketahanan individu di tengah tantangan hidup.

 

Sadrah (Cerpen Karya Yuwita)

 

 


Sebuah kota kecil di daerah Sumatera yang biasa dijuluki sebagai Kota Batiah. Dimana udara segar dan pemandangan alam berpadu sempurna dengan perkembangan zaman. Di sini, rumah-rumah tradisional seperti Rumah Gadang yang berdiri sejak masa kolonial Belanda berdampingan dengan bangunan modern yang dibangun oleh pemerintah setempat, menciptakan harmoni antara warisan dan inovasi. Jalan-jalan dipenuhi dengan pepohonan rindang, sementara fasilitas-fasilitas modern seperti internet berkecepatan tinggi dan transportasi umum yang praktis memudahkan kehidupan sehari-hari. Kota ini adalah perpaduan unik antara keasrian alam dan kenyamanan modern, menawarkan kualitas hidup yang tinggi bagi penduduknya. Namun dibalik keindahannya terdapat aturan dan tradisi yang sangat kental.

Tradisi adat bukan hanya peraturan yang harus dipatuhi, melainkan juga warisan yang dijaga. Salsa, gadis muda itu menjadi simbol keharmonisan antara tradisi dan keindahan alam. Kota kecil yang terhampar hijau, bukan hanya latar belakang, melainkan juga bagian dari identitasnya.

Salsa adalah anak perempuan terakhir dari keluarga besar yang taat pada adat dan tradisi. Ayah Salsa, Pak Rahan adalah tetua adat yang sangat dihormati, seorang pria yang tegas dalam menjalankan tradisi dan aturan-aturan adat. Meskipun begitu ayah Salsa adalah seorang kepala keluarga yang sangat mementingkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Salah satu tradisi yang paling dipegang teguh oleh keluarganya adalah keharusan bagi anak perempuan terakhir untuk tinggal bersama orang tua mereka dan mengurus apa yang telah di tinggalkan oleh nenek moyang mereka, entah itu untuk mengurus bisnis keluarga ataupun mengurus urusan adat yang masih berlaku sampai saat ini.

Sejak kecil, Salsa telah dipersiapkan untuk melanjutkan tanggung jawab tersebut. Kedua saudarinya Nisa dan Lala, telah memilih jalan hidup mereka sendiri dan menitikberatkan tanggung jawab itu kepada Salsa. Lala yang menikah dengan seorang pria dari ibukota dan pindah, sementara Nisa menjadi seorang dokter yang bertugas di ibukota daerah. Salsa, sebagai anak bungsu, harus menerima beban dan tumbuh dalam tekanan besar untuk menjadi penerus keluarganya.

Walau Salsa merasa terbelenggu oleh tradisi tersebut, dia tetap menghormati keluarganya. Dia berusaha menjalani hidupnya dengan tulus, meskipun hatinya sering kali berkonflik dengan keinginannya yang sebenarnya.

Namun, menjalani kehidupan kota yang penuh dengan adat istiadat tidaklah mudah. Terkadang Salsa merasa terikat, seperti sayapnya diikat oleh tali-tali adat yang kuat. Dia ingin menjelajahi dunia diluar sana, tetapi ia tak ingin meningkalkan akar yang begitu dalam. Konflik batin ini sering membuat merenung disetiap malam, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.

Salsa merasa tak bisa membagikan kekhawatirannya kepada siapapun. Dia merasa terperangkap oleh peran yang diukir untuknya oleh keluarganya, tanpa ruang bagi impiannya sendiri. Ia merasa terasing dalam usahanya menemukan jati diri di tengah tekanan yang ada. Walaupun begitu Salsa tumbuh dengan cita-cita yang besar. Ia ingin menjadi seorang yang mandiri, sukses, Dan berkontribusi dengan masyarakat dengan dorongan dan motivasi dari keluarganya ia bisa melanjutkan jenjang pendidikannya.

Saat Salsa melanjutkan kuliah, tekanan dari keluarganya semakin terasa .

Bilo ka salasai kuliah tu, Sa?” Ujar ibunya dengan penuh harap. setiap kali ibunya bertanya kapan Salsa akan menyelesaikan studinya, Salsa merasa beban itu semakin berat. Ia merasa beban tradisi keluarganya terlalu berat baginya untuk ditanggung.

Di tengah keheninggan sejenak, Salsa menarik nafas, ia menyentuh teralis besi yang mulai berkarat, manik coklat tuanya menatap pemandangan dari jendela kamar kos yang disewanya.

Insyaallah tahun bisuak Ma, doaan se taruih dih” jawab Salsa menenangkan.

Suatu hari, Salsa bertemu dengan salah satu teman lamanya yang telah melanjutkan kuliahnya di luar negri.temannya itu, Zara telah menjadi mahasiswa yang sangat berpengaruh didaerahnya selain karena ia sedang menyelesaikan studinya di Turki, ia juga seorang yang pembisnis muda karena membuka jastip (jasa titip) yang biasa membelikan barang-barang yang hanya ada di tempat ia berkuliah.

“Dima ang ka lanjuik S2 ha?” Ujar Zara yang masih terlihat exicited setelah lama tidak bertemu dengan Salsa.

Salsapun hanya membalasnya senyuman tipis dan berkata” Lun tau lai, kemungkinannyo di unand , payah lo kalo mode kini ko, dek jauah  klo ado apo-apo dirumah payah den pulang deknyo,jawabnya pasrah.

Zara menjadi kebingungan dengan alasan yang telah diutarakan oleh Salsa.” Bukannya kemajuan teknologi membuat komunikasi semakin mudah kalau ada sesuatu yang darurat kan bisa disampaikan dengan cepat. Dari segi finansialpun rasanya tidak ada masalah. Kenapa deh Salsa” batin Zara   

Salsa menangkap perubahan sikap yang ditunjukkan oleh temannya. Salsa menarik nafas dalam lalu kembali menjelaskan kondisi yang dialaminya akan tetapi ia belum mendapatkan respon yang ia inginkan dari Zara. Mungkin karna pandangan Zara, Salsa adalah seorang yang bisa mendapatkan semua yang ia inginkan dengan mudah..

Pandangannya tertunduk ia meremas lengan tunik bermotif  bunga yang ia kenakan. Salsa merasa terjebak dalam perasaan yang sulit untuk diungkapkan kepada orang-orang disekitarnya. Tiap kali ia berusaha membuka hati tentang beban yang ia rasakan sebagai anak bungsu yang sangat berbeda dengan bungsu dikeluarga orang diluar sana. Semakin ia berusaha untuk membuka hatinya semakin ia merasa seolah-olah mereka tidak benar-benar dapat memahaminya.

Setahun berlalu, Salsa lulus sebagai sarjana manajemen. Hari wisudanya dipenuhi dengan kebagiaan dan kebanggaan, namun juga perasaan yang campur aduk yang sulit ia jelaskan. Di tengah kebahagiaan itu, teman-temannya, Hana dan Resa, kembali mengajak Salsa untuk melanjutkan studi magister ke luar negri.

“Selamat ya teman-teman akhirnya satu impian kita tercapai, ga sabar deh nunggu hasil kelulusan magister kita di malaysia,” ujar Resa sambil sibuk mencari angel yang pas untuk mengambil selfie mereka bertiga

“Ihh… geser dikit bucket kamu banyak banget sih sa” ujar Hana yang sedikit kesal dengan hadiah-hadiah yang diterima oleh Salsa, lalu kembali merapikan jilbabnya

Salsa tersenyum, namun hatinya penuh dengan keraguan dan kebinguungan. Ia bergeser sedikit agar Hana dapat leluasa mengambil posisi yang pas.lalu kisya menunduk sejenak sebelum menjawab.

“Iyaa maaf Na, tapi aku …”jawab Salsa dengan penuh kegelisahan.

Hana dan Resa saling pandang keheranan.

“Kenapa, Saa? Kamu mau ngomong apa? Hana yang tadi kesal pun merasa bersalah dan bertanya-tanya apakah ini karna perkataanku tadi?.batin Hana yang mengerutan keninganya

“Sebenarnya aku udah memutuskan aku ga bisa ikut kalian. Aku mau lanjut di UNAND aja soalnya aku juga punya tanggung jawab lain yang harus aku jalani,” Salsa menjelaskan diakhiri dengan senyum penuh arti

“Tapi kan kita udah bikin rencana itu sama-sama sa?”balas Resa dengan sedikit kecewa

“Semoga kalian paham ya sama posisi yang menurut aku emang berat tapi kayaknya ini emang udah jadi takdirnya” balas Salsa dengan kebahagiaan yang bersinar di matanya.

Seketika Salsa merenung. Matanya terpejam dengan alis yang berkerut, seolah-olah ia sedang mencoba memahami kenangan dan impian yang menghantuinya. Napasnya tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya mengisyaratkan bahwa ada petunjuk tentang pemikiran yang positif yang mungkin sedang berkecamuk didalam hatinya. Dalam pikiranya, Salsa menemukan bahawa tradisi adat adalah pondasi yang memberi kekuatan bukanlah pembatas yang merenggut kebebasan. Ia mulai mengerti bahwa keindahan kotanya dan kekayaan tradisinya adalah dua hal yang saling melengkapi.keduanya memberikan keunikan yang tak dapat ditemukan di tempat lain. Dengan pemahaman ini, Salsa menemukan keseimbangan keingin untuk berkembang dan pentingnya menjaga warisan adat.