Rabu, 10 Juli 2024

Sadrah (Cerpen Karya Yuwita)

 

 


Sebuah kota kecil di daerah Sumatera yang biasa dijuluki sebagai Kota Batiah. Dimana udara segar dan pemandangan alam berpadu sempurna dengan perkembangan zaman. Di sini, rumah-rumah tradisional seperti Rumah Gadang yang berdiri sejak masa kolonial Belanda berdampingan dengan bangunan modern yang dibangun oleh pemerintah setempat, menciptakan harmoni antara warisan dan inovasi. Jalan-jalan dipenuhi dengan pepohonan rindang, sementara fasilitas-fasilitas modern seperti internet berkecepatan tinggi dan transportasi umum yang praktis memudahkan kehidupan sehari-hari. Kota ini adalah perpaduan unik antara keasrian alam dan kenyamanan modern, menawarkan kualitas hidup yang tinggi bagi penduduknya. Namun dibalik keindahannya terdapat aturan dan tradisi yang sangat kental.

Tradisi adat bukan hanya peraturan yang harus dipatuhi, melainkan juga warisan yang dijaga. Salsa, gadis muda itu menjadi simbol keharmonisan antara tradisi dan keindahan alam. Kota kecil yang terhampar hijau, bukan hanya latar belakang, melainkan juga bagian dari identitasnya.

Salsa adalah anak perempuan terakhir dari keluarga besar yang taat pada adat dan tradisi. Ayah Salsa, Pak Rahan adalah tetua adat yang sangat dihormati, seorang pria yang tegas dalam menjalankan tradisi dan aturan-aturan adat. Meskipun begitu ayah Salsa adalah seorang kepala keluarga yang sangat mementingkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Salah satu tradisi yang paling dipegang teguh oleh keluarganya adalah keharusan bagi anak perempuan terakhir untuk tinggal bersama orang tua mereka dan mengurus apa yang telah di tinggalkan oleh nenek moyang mereka, entah itu untuk mengurus bisnis keluarga ataupun mengurus urusan adat yang masih berlaku sampai saat ini.

Sejak kecil, Salsa telah dipersiapkan untuk melanjutkan tanggung jawab tersebut. Kedua saudarinya Nisa dan Lala, telah memilih jalan hidup mereka sendiri dan menitikberatkan tanggung jawab itu kepada Salsa. Lala yang menikah dengan seorang pria dari ibukota dan pindah, sementara Nisa menjadi seorang dokter yang bertugas di ibukota daerah. Salsa, sebagai anak bungsu, harus menerima beban dan tumbuh dalam tekanan besar untuk menjadi penerus keluarganya.

Walau Salsa merasa terbelenggu oleh tradisi tersebut, dia tetap menghormati keluarganya. Dia berusaha menjalani hidupnya dengan tulus, meskipun hatinya sering kali berkonflik dengan keinginannya yang sebenarnya.

Namun, menjalani kehidupan kota yang penuh dengan adat istiadat tidaklah mudah. Terkadang Salsa merasa terikat, seperti sayapnya diikat oleh tali-tali adat yang kuat. Dia ingin menjelajahi dunia diluar sana, tetapi ia tak ingin meningkalkan akar yang begitu dalam. Konflik batin ini sering membuat merenung disetiap malam, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.

Salsa merasa tak bisa membagikan kekhawatirannya kepada siapapun. Dia merasa terperangkap oleh peran yang diukir untuknya oleh keluarganya, tanpa ruang bagi impiannya sendiri. Ia merasa terasing dalam usahanya menemukan jati diri di tengah tekanan yang ada. Walaupun begitu Salsa tumbuh dengan cita-cita yang besar. Ia ingin menjadi seorang yang mandiri, sukses, Dan berkontribusi dengan masyarakat dengan dorongan dan motivasi dari keluarganya ia bisa melanjutkan jenjang pendidikannya.

Saat Salsa melanjutkan kuliah, tekanan dari keluarganya semakin terasa .

Bilo ka salasai kuliah tu, Sa?” Ujar ibunya dengan penuh harap. setiap kali ibunya bertanya kapan Salsa akan menyelesaikan studinya, Salsa merasa beban itu semakin berat. Ia merasa beban tradisi keluarganya terlalu berat baginya untuk ditanggung.

Di tengah keheninggan sejenak, Salsa menarik nafas, ia menyentuh teralis besi yang mulai berkarat, manik coklat tuanya menatap pemandangan dari jendela kamar kos yang disewanya.

Insyaallah tahun bisuak Ma, doaan se taruih dih” jawab Salsa menenangkan.

Suatu hari, Salsa bertemu dengan salah satu teman lamanya yang telah melanjutkan kuliahnya di luar negri.temannya itu, Zara telah menjadi mahasiswa yang sangat berpengaruh didaerahnya selain karena ia sedang menyelesaikan studinya di Turki, ia juga seorang yang pembisnis muda karena membuka jastip (jasa titip) yang biasa membelikan barang-barang yang hanya ada di tempat ia berkuliah.

“Dima ang ka lanjuik S2 ha?” Ujar Zara yang masih terlihat exicited setelah lama tidak bertemu dengan Salsa.

Salsapun hanya membalasnya senyuman tipis dan berkata” Lun tau lai, kemungkinannyo di unand , payah lo kalo mode kini ko, dek jauah  klo ado apo-apo dirumah payah den pulang deknyo,jawabnya pasrah.

Zara menjadi kebingungan dengan alasan yang telah diutarakan oleh Salsa.” Bukannya kemajuan teknologi membuat komunikasi semakin mudah kalau ada sesuatu yang darurat kan bisa disampaikan dengan cepat. Dari segi finansialpun rasanya tidak ada masalah. Kenapa deh Salsa” batin Zara   

Salsa menangkap perubahan sikap yang ditunjukkan oleh temannya. Salsa menarik nafas dalam lalu kembali menjelaskan kondisi yang dialaminya akan tetapi ia belum mendapatkan respon yang ia inginkan dari Zara. Mungkin karna pandangan Zara, Salsa adalah seorang yang bisa mendapatkan semua yang ia inginkan dengan mudah..

Pandangannya tertunduk ia meremas lengan tunik bermotif  bunga yang ia kenakan. Salsa merasa terjebak dalam perasaan yang sulit untuk diungkapkan kepada orang-orang disekitarnya. Tiap kali ia berusaha membuka hati tentang beban yang ia rasakan sebagai anak bungsu yang sangat berbeda dengan bungsu dikeluarga orang diluar sana. Semakin ia berusaha untuk membuka hatinya semakin ia merasa seolah-olah mereka tidak benar-benar dapat memahaminya.

Setahun berlalu, Salsa lulus sebagai sarjana manajemen. Hari wisudanya dipenuhi dengan kebagiaan dan kebanggaan, namun juga perasaan yang campur aduk yang sulit ia jelaskan. Di tengah kebahagiaan itu, teman-temannya, Hana dan Resa, kembali mengajak Salsa untuk melanjutkan studi magister ke luar negri.

“Selamat ya teman-teman akhirnya satu impian kita tercapai, ga sabar deh nunggu hasil kelulusan magister kita di malaysia,” ujar Resa sambil sibuk mencari angel yang pas untuk mengambil selfie mereka bertiga

“Ihh… geser dikit bucket kamu banyak banget sih sa” ujar Hana yang sedikit kesal dengan hadiah-hadiah yang diterima oleh Salsa, lalu kembali merapikan jilbabnya

Salsa tersenyum, namun hatinya penuh dengan keraguan dan kebinguungan. Ia bergeser sedikit agar Hana dapat leluasa mengambil posisi yang pas.lalu kisya menunduk sejenak sebelum menjawab.

“Iyaa maaf Na, tapi aku …”jawab Salsa dengan penuh kegelisahan.

Hana dan Resa saling pandang keheranan.

“Kenapa, Saa? Kamu mau ngomong apa? Hana yang tadi kesal pun merasa bersalah dan bertanya-tanya apakah ini karna perkataanku tadi?.batin Hana yang mengerutan keninganya

“Sebenarnya aku udah memutuskan aku ga bisa ikut kalian. Aku mau lanjut di UNAND aja soalnya aku juga punya tanggung jawab lain yang harus aku jalani,” Salsa menjelaskan diakhiri dengan senyum penuh arti

“Tapi kan kita udah bikin rencana itu sama-sama sa?”balas Resa dengan sedikit kecewa

“Semoga kalian paham ya sama posisi yang menurut aku emang berat tapi kayaknya ini emang udah jadi takdirnya” balas Salsa dengan kebahagiaan yang bersinar di matanya.

Seketika Salsa merenung. Matanya terpejam dengan alis yang berkerut, seolah-olah ia sedang mencoba memahami kenangan dan impian yang menghantuinya. Napasnya tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya mengisyaratkan bahwa ada petunjuk tentang pemikiran yang positif yang mungkin sedang berkecamuk didalam hatinya. Dalam pikiranya, Salsa menemukan bahawa tradisi adat adalah pondasi yang memberi kekuatan bukanlah pembatas yang merenggut kebebasan. Ia mulai mengerti bahwa keindahan kotanya dan kekayaan tradisinya adalah dua hal yang saling melengkapi.keduanya memberikan keunikan yang tak dapat ditemukan di tempat lain. Dengan pemahaman ini, Salsa menemukan keseimbangan keingin untuk berkembang dan pentingnya menjaga warisan adat.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar