Sabtu, 25 Oktober 2025

Penyimpangan Sosial di Yogyakarta (Khumainida Zahra)

 


Di jalan yang sepi, malam berbisik lirih

Lampu redup menatap langkah yang resah

Sementara malam turun dan dunia tertidur,

Sebagian manusia justru terjaga- bukan untuk beribadah

Tetapi untuk memangsa sesamanya.

Sebut saja klitih, atau sering kita kenal dengan nama begal.

Nama yang begitu akrab ditelinga, menjadi simbol kegelisahan yang mendalam.

Terutama di daerah saya, Yogyakarta.

Begal ini biasanya terjadi di malam hari, saat jalanan sudah mulai sepi.

Karena jalanan tak lagi sekedar tempat pulang,

Tapi bisa jadi lorong maut bagi mereka yang malang.

Tentu saja mereka tak bersalah, tetapi berdarah atau bahkan sampai tewas di tempat.

Kejadian ini dilakukan oleh para remaja dengan cara melakukan aktivitas dengan bersifat santai. 

Tetapi waktu demi waktu berlalu.

Begal muncul bukan karena niat jahat, tapi karena jiwa gersang dari nilai dan kasih,

Ada luka sosial yang belum sembuh, ada perut lapar, ada moral yang tak lagi diberi makan.

Tapi apa pun alasannya, kekerasan tak akan pernah menjadi jawaban.

BETUL APA BETUL?

Begal ini sangat mengerikan dan mengganggu aktivitas serta kenyamanan warga. 

Dan sampai saat ini begal masih saja berkeliaran di beberapa daerah di Yogyakarta.

Sayangnya, remaja- remaja itu tidak ada keinginan untuk mengubah sifat kejam ini.

Mungkin yang perlu kita tanya bukan hanya “ mengapa mereka kejam?’’

Tapi juga, “mengapa nurani bisa sekarat sedemikian dalam?’’

Jadi apa yang bisa kita lakukan?

Mari kita lawan begal bukan hanya dengan senjata

Tapi dengan pendidikan dan kepedulian

Karena ketika perut kenyang dan hati tenang

Tak ada lagi alasan untuk mencuri hidup orang lain

Paket (Cerita Pendek karya Meitha KH)

 


"Paket!" suara bariton terdengar dari luar pagar. Titin yang sedang mengepel lantai sore itu bergegas membuka pintu dengan daster lusuh di tubuhnya. Rambutnya yang panjang, ia gulung ke atas dan diikat dengan jepit hitam.

"Rumahnya Pak Dadang?" tukang paket bertanya sambil memegang ponsel di tangannya. Titin mengangguk dan membayar paket tersebut. Sebuah kotak kecil dengan alamat yang benar.

"Paket siapa, Bu? Mainan buat Ade ya?" Anak lelaki berusia empat tahun itu memburu paket yang diletakkan Titin di atas meja. Sudah lama ia minta dibelikan mobil-mobilan kepada ayahnya. Tapi sampai sekarang, mainan itu tak kunjung datang.

"Bukan. Itu paket untuk ayahmu. Mungkin isinya cat air atau kuas." Titin kembali melanjutkan pekerjaannya mengepel lantai, mencuci pakaian, dan memasak.

Di rumah sederhana itu, Titin mempertaruhkan masa depannya demi sebuah pernikahan. Dengan latar belakang pendidikan sarjana, Titin rela meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang guru sekolah swasta dan pindah ke kampung halaman suaminya. Ajaran agama yang ditekuninya sejak kecil, membuat Titin yakin bahwa patuh kepada suami itu selain kewajiban, juga merupakan perbuatan yang mulia dan mendapat pahala.

Kepindahannya yang baru satu tahun ke kampung halaman suaminya di Cianjur, ternyata tidak membuat kehidupan mereka lebih baik. Titin yang kini mengajar di Taman Kanak-Kanak dekat rumahnya, hanya diberi honor kurang dari 900 ribu setiap bulan. Sedangkan Dadang, suami Titin, menjual lukisan abstrak yang kadang laku kadang tidak. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, Titin membuat makanan ringan dan dititip di warung dekat rumah mereka.

"Kang, itu ada paket di meja." Dadang yang baru pulang dari pos ronda malam itu, bergegas membuka kotak yang berisi cat air dan kuas. Dugaan istrinya tidak melesat. 

"Itu harganya 70 ribu, tadi aku bayar pakai uang modal dagangan," ucap Titin sambil menunggu suaminya mengganti uang yang terpakai.

"Wah, aku gak ada uang. Pinjam dulu lah, nanti kalau lukisan laku, aku ganti!"

Bukan sekali pria yang bergelar suami itu menjanjikan kata-kata sakti. Faktanya, berapa pun uang Titin yang dipinjam suaminya, tak pernah kembali. Seringkali Titin belajar memahami, bahwa keahlian suaminya melukis abstrak itu, ternyata tidak menghasilkan uang yang memadai. Jika satu lukisan laku, Dadang hanya mendapat 700 ribu. Itu pun tidak setiap bulan, lukisan Dadang laku terjual.

"Masak apa, Bu?" jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dadang yang baru bangun, membuka tudung saji di atas meja makan. Tahu goreng dan tumis wortel sudah tersedia dengan rapi tertata.

"Kang, gimana mau dapat rezeki. Bangunnya saja siang. Apa enggak mau bangun subuh, salat, mandi, terus melukis dengan serius."

"Kamu ini gimana sih, Bu! Aku kan semalam dari pos ronda. Biasa, ngobrol sama pak RT dan bapak-bapak di blok C."

"Pulang dari pos ronda bukannya jam 10 malam? Harusnya Akang langsung tidur, bukannya nonton sampai jam 2 malam. Lagian, ngapain tiap hari nongkrong di pos dari sore sampai malam, memangnya Akang dibayar?"

"Bu, Ibu ini enggak ngerti ya. Sebagai pedagang lukisan, kita itu harus banyak bergaul. Siapa tahu, ngobrol dengan banyak orang, akan ada yang beli lukisanku. Ini namanya strategi marketing, Bu! Makanya, kalau enggak mengerti dunia seni, jangan ikut campur!"

"Bu, kopi!" Dadang duduk di teras rumah, menunggu istrinya membuatkan kopi. Kedua tangannya itu, lebih sering memegang ponsel dan kuas, daripada menyeduh kopi sendiri. Padahal ia tahu, istrinya sedang mencuci piring di dapur.

"Kang, itu yang di meja, enggak dimakan?" sambil menaruh kopi panas di meja teras, Titin mengamati sosok suaminya. Lingkaran mata yang menghitam, perut buncit, dan rambut gondrong. Sedangkan Titin, selalu menjaga kebersihan dirinya. Kulit Titin yang bersih dan mulus itu, tidak terlihat seperti perempuan yang mengalami kesusahan finansial.

"Aku enggak bisa makan sayur. Ibu juga tau kan? Kenapa masak itu?" Dadang menjawab pertanyaan Titin tanpa menatapnya sedikit pun.

“Kang, uang dari Akang itu 700 ribu bulan ini, ditambah honorku 800 ribu. Jadinya 1 juta 500 ribu. Nah, bayar listik dan internet saja sudah 500 ribu. Belum lagi rokok Akang 2 bungkus satu hari. Jadi sisa 300 ribu. Uang sisa itu, aku belikan beras, minyak, dan telur. Jadi habis ya?” Titin mengatur napasnya sambil menjelaskan panjang lebar soal kebutuhan rumah tangga mereka. Selama ini, Dadang seolah tidak mau tahu dengan rincian pengeluaran yang diatur istrinya.

“Bukannya, Ibu jualan camilan?” kali ini, intonasi yang disuarakan Dadang dalam pertanyaannya sedikit berbeda. Mirip seorang penyidik ketika menghadapi tersangka.

“Keuntungan daganganku itu, rata-rata 40 ribu sehari. Dari uang itu, Akang bisa minum kopi dan makan sayur, tahu, atau ikan asin. Soalnya, aku juga harus menyisihkan 10 ribu untuk ongkos mengajar.”

“Enggak mungkin. Memangnya, Ibu enggak beli sabun, bedak, lipstik, dan lain-lain? Ibu jujur sama Akang. Apa ada laki-laki yang  kasih uang?”

Astagfirullah. Titin mengucap istigfar dalam hati. Bagaimana mungkin suaminya berpikir sejauh itu. Selama menikah, Titin tidak pernah menemui lelaki mana pun.

“Kenapa Kang Dadang suudzon? Kadang-kadang ada tambahan 100 ribu dari sekolah.”

“Tuh kan, Ibu bohong. Berarti selama ini gaji Ibu bukan 800 ribu? Pantesan Akang suka heran, kok Ibu bisa beli bedak. Memangnya, dandan buat siapa? Supaya dilihat laki-laki di jalan?”

Titin berlalu meninggalkan suaminya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Sambil menangis karena merasa sakit hati tidak dipercaya suami sendiri, Titin berpikir lagi, mengapa gara-gara masak tumis wortel, urusannya bisa sepanjang ini.

“Paket!” suara yang tidak asing menyapa telinga Titin. Satu minggu berlalu sejak perdebatan dengan suaminya, Titin lebih banyak diam. Ia hanya mengamati perilaku suaminya yang tidak juga berubah. Sebuah motor di depan rumah, hanya menjadi hiasan. Padahal Titin sudah menyarankan, agar suaminya mencari penghasilan tambahan dengan jasa ojek online.

“Ya, Mas. Untuk Pak Dadang ya?”

“Iya, Bu. Ini paketnya!” sebuah kotak yang cukup besar diserahkan. Kali ini Titin tidak tahu apa isinya. Tidak semua paket yang ditujukan untuk suaminya itu, diketahui oleh Titin. Kadang-kadang, Titin juga tidak peduli dengan isinya.

“Berapa?”

“Sudah dibayar, Bu. Permisi!” tukang paket itu berlalu dari hadapan Titin. Sebenarnya Titin heran, tumben suaminya membayar belanjaannya di muka.

            “Selamat siang, Bu!” Baru saja Titin hendak menutup pagar, dua pria berbadan tegap turun dari kendaraan roda dua. Mereka menahan pagar itu agar bisa masuk ke dalam rumah.

            “Siang, Pak! Maaf, Bapak-bapak ini mau bertemu siapa?” perasaan Titin sudah tidak enak.

            “Pak Dadang ada?” kedua pria masih berdiri sambil mengamati sekeliling rumah.

            “Kebetulan suami saya sedang keluar, Bapak dari mana?” Titin bersiap mengambil ponsel dan akan menghubungi suaminya. Biasanya, sepulang mengajar, suaminya ada di rumah.

            “Kami dari Bank Surya, mau menagih pinjaman yang sudah telat 3 bulan.” Tentu saja Titin terkejut. Selama ini, suaminya tidak pernah memberi tahu soal utang. Titin jelas sakit hati, sebab Titin merasa turut berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan mereka dan selalu terbuka masalah keuangan.

            Sejak hari itu, Titin dan anaknya pulang ke rumah orangtua Titin. Meskipun Dadang sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, Titin masih tinggal di rumah orang tuanya. Hanya dua kali Dadang menghubungi Titin melalui ponsel. Setelah itu, Dadang sibuk dengan lukisan-lukisannya.

            Enam bulan lebih berlalu sejak Titin meninggalkan rumah. Dadang yang baru beranjak dari tempat tidur tepat pukul 11 siang, dikejutkan dengan suara pria di depan rumah.

            “Paket!”

Baru juga bangun, sudah ada gangguan. Dadang keluar membuka pagar. Lelaki itu berdiri di hadapannya. Dengan amplop coklat dibungkus plastik di tangan lelaki tersebut.

“Pak Dadang?” pria itu memastikan kalau rumah yang ia kunjungi adalah rumah Dadang.

“Iya, Pak. Paket untuk saya?”

“Betul Pak!”

Dadang membuka amplop setelah tukang paket pergi dari rumahnya. Seingat Dadang, ia tidak memesan apa pun. Tak lama Dadang tertegun. Ia membaca surat panggilan yang berasal dari Pengadilan Agama. Ia tidak pernah menduga, kalau Titin menggugat cerai dirinya.


Rabu, 22 Oktober 2025

Pekerjaan Paling Membahagiakan untuk Sang Introver (Meitha KH)



Asalaamualaikum

Apa kabar pembaca setia, semoga kalian semua selalu sehat dan bahagia. Kali ini, saya akan berbagi opini tentang pekerjaan yang paling membahagiakan seseorang yang bersifat introver. Nah, kalau bicara soal kerjaan, kita sering mendengar banyak karyawan yang tidak bahagia atau sering mengeluh atas pekerjaannya. Soal gaji yang kuranglah, jam kerja atau jarak yang jauh, pekerjaan yang gak pernah ada habisnya, dan sebagainya. Kenapa bisa begitu? Biasanya, itu semua terjadi karena kita kurang atau tidak mencintai pekerjaan tersebut. Jadi, ketika kita memutuskan untuk bekerja, pilihlah pekerjaan yang sesuai dengan minat kita agar kita dapat berkembang dan betah melakukannya.

Lantas, pekerjaan apa saja yang cocok dan berpotensi membahagiakan sang introver?
1. Penulis: pekerjaan ini membutuhkan latihan secara konsisten. Keterampilan yang diperlukan adalah wawasa/bacaan yang luas, dasar-dasar kepenulisan, dan ketekunan. Menjadi penulis bisa dilakukan di mana saja. kuncinya tetap aktif membaca, latihan menulis, dan bergabung di komunitas kepenulisan.
2. Pustakawan: Pernah gak membayangkan duduk di sebuah kursi dan dikelilingi buku-buku. Betapa indah dan nikmatnya hal seperti itu. Sepanjang hari, seorang pustakawan bertugas untuk melakukan  pendataan buku, anggota perpustakaan, dan merapikan buku-buku yang sudah dibaca.
3. Membuka/mengelola Taman Bacaan Masyarakat: Pekerjaan yang ketiga ini sangat menantang dan seru. Buat kamu yang sulit mendapat pekerjaan menjadi pustakawan, membukan taman bacaan sendiri merupakan hal yang menantang sekaligus menyenangkan. Mendirikan TBM bisa dimulai dari ruangan kecil di depan atau samping rumah. Bahkan, teras rumah kita bisa juga dijadikan taman bacaan. Setelah itu, mulai membuat rak-rak, menggelar karpet dan beberapa meja lesehan. Untuk pengadaan bukunya sendiri, bisa mengajukan ke penerbit-penerbit besar dan meminta donasi buku. Donasi buku tersebut bisa juga diajukan kepada teman dan kerabat dengan memanfaatkan sosial media. Agar TBM-nya semakin berkembang, buatlah program kerja tahunan, seperti mendongeng untuk anak-anak balita sekitar, praktik buku resep masakan untuk ibu-ibu, dan lain-lain.

Itulah, tiga pekerjaan yang berpotensi membahagiakan sang introver. Semoga opini yang saya bagikan dapat bermanfaat ya. Silakan tinggalkan kritik atau saran. Teima kasih :)

Senin, 20 Oktober 2025

SEBUAH RETAKAN YANG TAK TERLIHAT

 



           - Sebuah Kisah Tentang Luka, Iman, dan Kemanusiaan di Tanah LOMBOK- 

    (ditulis oleh mahasiswi IMC semester III - 2025)

      Malam itu gempa datang tanpa memberi aba-aba, menggemparkan tanah Lombok dengan amarah yang tak terduga. Bumi berguncang, langit merintih, dan Lombok pulau yang dulunya indah dan tenang, seketika menjadi pulau yang penuh kegelisahan, pulau yang sangat menakutkan, pulau yang sangat mengancam dan penuah amarah. Dalam sekejap rumah-rumah berubah menjadi puing puing yang sangat menyesakkan dada bagi siapa saja yang menyaksikannya. Jalan-jalan berubah menjadi retakan-retakan panjang yang amat membahayakan bagi siapa saja yang berpijak di atasnya. Suara-suara teriakan ketakutan, tangisan kehilangan, dan gemaan takbir disertai linangan air mata menggetarkan setiap hati yang mendengarnya. Suara gemuruh dari bawah bumi, berpadu dengan suara gemuruh langit yang seakan mencekam. suara bangunan dan reruntuhan yang seakan siap menghantam. Di tengah debu-debu itu, ribuan hati kehilangan arah, bukan hanya karna guncangan, melainkan juga rasa aman yang kian runtuh bersamaan.

        Hari-hari setelah bencana, berjalan seperti bayang-bayang pahit yang tak kunjung hilang dari ingatan. Masyarakat hidup di bawah tenda-tenda usang. Di ruang pendingin udara, mereka menahan lapar di bawah panas terik, dan dingin malam yg menusuk. Sementara itu, jauh dari tenda-tenda usang  itu, di ruang ber-AC, para pejabat berseragam itu tersenyum di depan kamera, berbicara tentang keberhasilan distribusi bantuan, keberhasilan Pembangunan huntara {Hunian Sementara}, dan tentang kepedulian dan kesigapan negara. Kata-kata mereka mengalun begitu indah, sebagai lagu pengantar tidur baga rakyat yang belum tidur. Akan tetapi kenyataan dilapangan yang berdiri hannya tenda-tenda rapuh, dan harapan yang kian hancur. Bantuan dan angka yang sangat indah yang  terlontar dari mulut mulut itu menguap tanpa jejak.Dana yang seharusnya menjadi dinding-dinding bagi rakyat yang kehilangan rumah malah menjadi dinding-dinding marmer dirumah oknum-oknum yang rakus tak tahu malu.

        Namun terlepas dari semua kerakusan dan kebusukan itu, masih terdapat Cahaya yang begitu lembut, Cahaya yang datang dari tangan tangan sederhana, Cahaya yang datang dengan pelukan hangat,_relawan tak berseragam_, orang biasa yang menenpuh perjalanan jauh hannya  dan sekedar untuk membawa bantuan dan sedikit harapan. Mereka tidak menjanjikan apa-apa, tidak membahas proyek ataupun laporan, kehadiran mereka jauh lebih berharga dari pada beribu kalimat  manis dilayar kaca.

           Malam-malam di Lombok menjadi saksi tentang kekuatan iman yang diuji. Di tengah gelapnya malam, mereka mengadahkan tangan.Bukan untuk meminta, tapi untuk bertahan. Suara doa-doa itu terus terdengar ,seperti desiran angin,_lirih namun teduh_. Iman-iman mereka kuat dan kokoh, seperti batukarang di tepi laut, digempar ombak namun tak pernah runtuh,karna mereka percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka, tetapi sedang menguji seberapa kuat hati dan keyakin mereka disaat semuanya telah hancur.

           Dan sekarang Lombok perlahan bangkit, tetepi retakan itu tetap ada, bukan hanya di tanah,tapi di hati nurani bangsa ini. Retakan yang tak terlihat namun terasa dalam setiap ketidak jujuran, setiap janji palsu, dan setiap tangan yang mengambil hak orang lapar. Kisah di bumi mungkin bisa ditutup oleh waktu, namun retakan di hati nurani akan terus ada hingga kejujuran tetap tumbuh di hati manusia.Dan dari puing-puing itu, lahirlah pelajaran pahit namun suci dan berharga, bahwa kekuasaan tanpa kasih bagaikan debu kotor yang tak berarti. Dan bantuan tanpa keikhlasan hannyalah topeng belaka dan sia-sia. Manusia mungkin bisa kehilangan rumah, tetapi jangan sampai kehilangan hati. Dan sejatinya bencana terbesar itu bukanlah gempa yang mengguncang bumi, melainkan ketika manusia mengguncang nilai kemanusian diri sendiri.

             Dari tengah-tengah puing-puing dan serpihan debu itu, terdengar rintihan dari hati kecil yang sedang rapuh itu:

Tuhan ajari kami membangun bukan hanya dinding, tapi juga kejujuran.

Tuhan ajari kami menolong bukan karena nama,tapi karena cinta dan keikhlasan.

Tuhan ajari kami agar tidak hannya memulihkan tanah yang runtuh, tapi juga hati yang terlalu rapuh oleh luka dan dusta.