- Sebuah Kisah Tentang Luka, Iman, dan Kemanusiaan di Tanah LOMBOK-
Malam itu gempa datang tanpa memberi aba-aba, menggemparkan tanah Lombok dengan amarah yang tak terduga. Bumi berguncang, langit merintih, dan Lombok pulau yang dulunya indah dan tenang, seketika menjadi pulau yang penuh kegelisahan, pulau yang sangat menakutkan, pulau yang sangat mengancam dan penuah amarah. Dalam sekejap rumah-rumah berubah menjadi puing puing yang sangat menyesakkan dada bagi siapa saja yang menyaksikannya. Jalan-jalan berubah menjadi retakan-retakan panjang yang amat membahayakan bagi siapa saja yang berpijak di atasnya. Suara-suara teriakan ketakutan, tangisan kehilangan, dan gemaan takbir disertai linangan air mata menggetarkan setiap hati yang mendengarnya. Suara gemuruh dari bawah bumi, berpadu dengan suara gemuruh langit yang seakan mencekam. suara bangunan dan reruntuhan yang seakan siap menghantam. Di tengah debu-debu itu, ribuan hati kehilangan arah, bukan hanya karna guncangan, melainkan juga rasa aman yang kian runtuh bersamaan.
Hari-hari setelah bencana, berjalan seperti bayang-bayang pahit yang tak kunjung hilang dari ingatan. Masyarakat hidup di bawah tenda-tenda usang. Di ruang pendingin udara, mereka menahan lapar di bawah panas terik, dan dingin malam yg menusuk. Sementara itu, jauh dari tenda-tenda usang itu, di ruang ber-AC, para pejabat berseragam itu tersenyum di depan kamera, berbicara tentang keberhasilan distribusi bantuan, keberhasilan Pembangunan huntara {Hunian Sementara}, dan tentang kepedulian dan kesigapan negara. Kata-kata mereka mengalun begitu indah, sebagai lagu pengantar tidur baga rakyat yang belum tidur. Akan tetapi kenyataan dilapangan yang berdiri hannya tenda-tenda rapuh, dan harapan yang kian hancur. Bantuan dan angka yang sangat indah yang terlontar dari mulut mulut itu menguap tanpa jejak.Dana yang seharusnya menjadi dinding-dinding bagi rakyat yang kehilangan rumah malah menjadi dinding-dinding marmer dirumah oknum-oknum yang rakus tak tahu malu.
Namun terlepas dari semua kerakusan dan kebusukan itu, masih terdapat Cahaya yg begitu lembut, Cahaya yang datang dari tangan tangan sederhana, Cahaya yang datang dengan pelukan hangat,_relawan tak berseragam_, orang biasa yang menenpuh perjalanan jauh hannya dan sekedar untuk membawa bantuan dan sedikit harapan. Mereka tidak menjanjikan apa-apa, tidak membahas proyek ataupun laporan, kehadiran mereka jauh lebih berharga dari pada beribu kalimat manis dilayar kaca.
Malam-malam di Lombok menjadi saksi tentang kekuatan iman yang diuji. Ditengah gelapnya malam, mereka mengadahkan tangan.Bukan untuk meminta, tapi untuk bertahan. Suara doa-doa itu terus terdengar ,seperti desiran angin,_lirih namun teduh_. Iman-iman mereka kuat dan kokoh, seperti batukarang di tepi laut, digempar ombak namun tak pernah runtuh,karna mereka percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka, tetapi sedang menguji seberapa kuat hati dan keyakin mereka disaat semuanya telah hancur.
Dan sekarang Lombok perlahan bangkit, tetepi retakan itu tetap ada, bukan hannya ditanah,tapi dihati nurani bangsa ini. Retakan yang tak terlihat namun terasa dalam setiap ketidak jujuran, setiap janji palsu, dan setiap tangan yang mengambil hak orang lapar. Kisah dibumi mungkin bisa ditutup oleh waktu, namun retakan dihati nurani akan terus ada hingga kejujuran tetap tumbuh dihati manusia.Dan dari puing puing itu, lahirlah Pelajaran pahit namun suci dan berharga, bahwa kekuasaan tanpa kasih bagaikan debu kotor yang tak berarti. Dan bantuan tanpa keikhlasan hannyalah topeng belaka dan sia-sia. Manusia mungkin bisa kehilangan rumah, tetapi jangan sampai kehilangan hati. Dan sejatinya bencana terbesar itu bukanlah gempa yang mengguncang bumi, melainkan Ketika manusia mengguncang nilai kemanusia itu dirisendiri.
Dari tengah-tengah puing-puing dan serpihan debu itu, terdengar rintihan dari hati kecil yang sedang rapuh itu:
Tuhan ajari kami membangun bukan hanyya dinding, tapi juga kejujuran.
Tuhan ajari kami menolong bukan karna nama,tapi karna cinta dan keikhlasan.
Tuhan ajari kami agar tidak hannya memulihkan tanah yang runtuh, tapi juga hati yang terlalu rapuh oleh luka dan dusta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar