Catatan SONI FARID MAULANA
SEJUMLAH puisi yang ditulis oleh penyair Meitha KH dalam antologi puisi Mesin Waktu (2000-2012)
cukup menarik untuk disimak. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh
Majelis Sastra Bandung ini berisi 49 puisi, terbit pada bulan Oktober
2012. Kumpulan puisi ini, tidak hanya mengungkap hubungan aku lirik
dengan Tuhan, dan alam sekitarnya, tetapi juga mengungkap hubungan aku
lirik dan engkau lirik dengan berbagai variasinya. Kemampuan Meitha
dalam mengolah kata sebagai bahasa ungkap yang mempribadi, membuat
sejumlah puisi yang ditulisnya penuh dengan daya kejut, sebagaimana yang
kita baca dalam puisi yang diberi judul Kuburan. Selengkapnya puisi tersebut berbunyi: melewati
kuburan, ada yang pergi ada yang kembali/ cinta bagaikan kematian/
setelah lama tertidur, pada waktunya bangkit kembali./ daun bergoyang,
angin menyapu telingamu. aku rindu../ kegelapan memeluk kita, seolah
berkata: ajak aku kemanapun kau mau.// apakah benar, cinta akan mati
lalu hidup lagi?// sembilan tahun tak bertemu, sungaiku kemarau, sawah
terbelah, peluh bersimbah./ tanganku melingkar dipinggangmu, tak ada
suara selain degup jantung yang tak sempat kuhitung.// kuburkan aku di
hatimu.//
Dalam puisi
tersebut Meitha bertanya tentang apa dan bagaimana hakikat cinta itu
dalam kehidupan manusia. Apakah benar cinta yang tumbuh dan berkembang
dalam hati dan pikiran manusia itu, bisa mati dan bisa hidup lagi bila
ia menemukan dunia yang baru, dalam hal ini menemukan orientasi baru
dalam berbagai sendi kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan filosofis
semacam itulah yang membuat puisi tersebut menarik untuk direnungkan
dan penuh dengan daya kejut. Paling tidak, bagi saya puisi tersebut
telah menginterupsi pikiran kita sejenak, untuk bertanya tentang apa dan
bagaimana watak kemanusiaan itu. Apa sebab? Tumbuh dan berkembangnya
rasa cinta dalam pengertian yang seluas-luasnya itu, tidak lepas dari
persoalan semacam itu. Adapun kuburan yang ditulis Meitha dalam
larik pertama, dalam tataran tafsir, ia bisa mengarah pada kenangan,
atau semacam pengalaman masa silam, atau sesuatu yang telah lampau yang
layak untuk diziarahi atau dilupakan sekaligus.
Berkaitan dengan
itu, tidak salah kalau almarhum penyair Rendra pernah berkata, bahwa
cinta merupakan buah dari kehidupan, dan itu merupakan karunia yang
paling besar diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Untuk itu, tanpa
cinta kehidupan manusia kering semata. "Bukankah akar keimanan itu juga
bermuara pada cinta? Jadi dimensi cinta dalam kehidupan manusia sungguh
luas maknanya!" jelas Rendra, suatu hari pada tahun 1999 lalu di Paris,
Perancis. Sekalipun apa yang diungkap oleh Meitha dalam puisinya itu
bertitik-pangkal pada apa dan bagaimana nafas cinta itu tumbuh dalam
hati manusia, baik ketika ia berada dalam kebahagiaan maupun dalam
penderitaan, maka denyut yang dikandungnya bukan hanya sebatas pada
hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga menjangkau hubungan manusia
dengan Tuhannya. Dengan demikian puisi di atas punya wilayah tafsir
yang luas, yang secara hermeneutika bisa dibaca dan ditafsir semacam
itu. Untuk itu, larik kuburkan aku di hatimu tidak hanya mengandung muatan sosial-religius, tetapi juga mistis religius. Apa sebab? Ungkapkan kuburkan
dalam puisinya itu - tidak hanya mengandung makna berserah diri, tetapi
juga mengungkap makna siap lebur atau melebur dalam penyatuan. Apa pun
makna penyatuan itu.
Dalam titik inilah puisi Meitha terasa penuh daya kejut. Kuburan
dengan demikian mengandung banyak makna dalam puisi yang ditulisnya
itu. Dalam kaitan ini saya hendak mengatakan, dalam mengungkap
pengalaman batinnya yang penuh warna itu, Meitha tidak hanya bicara
tentang dirinya sendiri yang dilanda oleh kesepian dan kesunyian, tetapi
juga tengah mengungkap persoalan tersebut ketataran yang lebih luas
dalam konteks spiritual, sehingga setiap pembaca puisi Meitha bisa
merasakan bahwa yang dialami oleh aku lirik dalam puisinya itu adalah
"pengalaman pembaca" juga. Dalam tataran yang demikian itu, Meitha
berhasil menumbuhkan daya komunikasi yang dibangun puisinya, yang
ditulis dengan sintaksis dan semantik yang sederhana, namun kaya makna.
Dalam puisinya yang lain, yang diberi judul Rumah Sakit
(2012) ada kesadaran maut yang mengusik hati dan pikiran aku lirik yang
ditulisnya. Kesadaran akan mengingat maut sebagaimana dikatakan para
ulama adalah kesadaran yang harus terus ditumbuhkan dalam hati dan
pikiran manusia. Apa sebab? Karena ujung dari semua itu pada akhirnya
akan membawa ingatan kita pada Keagungan dan Kebesaran Allah SWT. Dalam
konteks inilah muatan religius dalam puisi-puisi Meitha semakin
terlacak. Puisi tersebut ditulis dengan kalimat yang sederhana, namun
kaya makna. Kita baca di bawah ini: Di Cafe rumah sakit, bangku
terdiam lampu terdiam, televisi tak juga diam./ Dia duduk sendiri,
menikmati teh hangat.// Apa yang dia ingat, saat kematian perlahan
mendekat.// Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/
Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan
segera keluar !!//
Dari apa
yang ditulisnya semacam itu pada satu sisi menunjukkan bahwa Meitha
sesungguhnya bukan orang baru dalam menulis puisi. Kalimat-kalimat yang
padat dan ringkas yang ditulisnya itu dalam pandangan saya telah
menujukkan bagaimana Meitha sungguh hati-hati dalam menggunakan
sekaligus memanfaatkan setiap diksi yang dipilihnya dalam menulis puisi.
Untuk itu, tiga larik akhir dari puisi yang ditulisnya telah membuka
cakrawala yang lain di hati pembacanya, saat merenungkan maut yang bisa
datang kapan saja, dengan penyebabnya yang berbagai-bagai itu. Walau
demikian tentu saja, takdir manusia hidup dan mati, tentu saja sudah
ditentukan oleh Allah SWT sejak penciptaan dimulai. Ironi tentang
kematian dengan segala keindahannya ditulis Meitha dengan larik-larik
puisi seperti ini: Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar!!//
Sehubungan
itu, tak salah kalau Paul Valery, salah seorang tokoh penyair Prancis
modern, pernah berkata, bahwa puisi tidak hanya menjangkau dunia terang
dalam kehidupan manusia, tetapi juga menjangkau dunia gelap. Dalam
pengertian lebih lanjut puisi tidak hanya membongkar alam sadar manusia
tetapi juga mengeksplorasi alam ketaksadaran, sebuah pengalaman paling
kelam yang mengendap di dasar hati manusia. Pengalaman-pengalaman kelam
semacam itu, dengan ukuran dan kualitasnya tersendiri diungkap Meitha
KH. Untuk itu pada sisi-sisi tertentu saya merasa miris, jika apa yang
ditulis Meitha itu bersinggungan dengan kesepian, kesunyian, dan
kerinduan tanpa ujung, yang semua itu diungkap dalam bayang-bayang sang
maut. Puisinya di bawah ini yang diberi judul Bunga Rumput menunjukkan hal itu: Kau
pernah bertanya padaku/ tentang tanah, tentang sekutum bunga./ Apakah
cinta kita merekah memerah/ serupa mawar merindu rekah.// Kisah ini
bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya
bahagia.// Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang
kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di
tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau
cabut.// Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli
terasing./ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu.// Juni 2011//
Perasaan
cinta yang diungkap dalam puisi di atas, jelas bukan perasaan cinta
anak sekolahan, yang gampang putus dan bubar begitu saja. Perasaan cinta
yang diungkap dalam puisinya ini adalah cinta yang penuh pengorbanan,
yang dengan telak diungkap Meitha dalam dua larik puisinya, yang
berbunyi: Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar
drama yang akhirnya bahagia. Apa sebab demikian? Sebab mencintaimu
adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa
bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku
akan kembali hidup meski kau cabut.//
Dalam
konteks inilah renungan religius kembali hadir. Mu lirik dalam puisinya
ini tidak lagi mengarah kepada mu yang fana, tetapi Mu yang kekal abadi.
Dengan tegas diekspresikan Meitha KH seperti ini: Sebab mencintaimu
sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing/ Sebab rumput hatiku
menghijau di jiwamu Paling tidak, dalam catatan yang serba ringkas ini,
demikianlah Meitha KH telah hadir ke tengah-tengah kita dengan kumpulan
puisinya sederhana, namun sarat dengan permainan makna dan suasana.
Kemampuan Meitha dalam menulis puisi liris semacam ini telah
menunjukkan bakatnya besar, yang saya yakin akan terus tumbuh dan
berkembang di hari kemudian. Pada sisi yang lain., kehadiran Meitha
dalam dunia puisi Indonesia kini telah memberikan warna tersendiri, yang
ditulis oleh kaum perempuan. Namun demikian tentu saja sebuah puisi
yang baik di mata pembacanya, tidak mengenal itu. Tidak mengenal apakah
puisi tersebut ditulis oleh kaum laki-laki ataukah oleh kaum perempuan.
Bahwa
apa yang ditulis oleh Meitha KH terasa personal, memang tidak salah.
Sebab dunia puisi itu sendiri pada dasarnya ditulis berdasar pada
pengalaman yang personal. Jika terjadi komunikasi yang lancar antara
pembaca dan penulis puisi, itu artinya ada kesejajaran pengalaman.
Inilah yang membuat saya merasa betah membaca puisi-puisi Meitha KH,
yang samar-samar terasa surrealis, dan bahkan simbolis. Apa pun yang
ditulis dan dihadirkan Meitha KH dalam kumpulan puisinya ini, ada banyak
hal yang layak kita petik dan kita simak. Saya percaya sebuah puisi
yang baik, akan hadir ke hadapan pembacanya tanpa harus dijelas-jelaskan
isinya oleh sebuah kata pengantar. Dengan demikian kata pengantar ini
bisa diabaikan. Sehubungan dengan itu, saya ingin menutup catatan kecil
ini dengan puisi Meitha yang lain, yang diberi judul Minggu Puisi.
Puisi yang ditulis pada tahun 2010 berbunyi: Pagi yang kasmaran.../
melantun dengan lagu yang sayup-sayup terdengar dari hatimu yang jauh/
rindunya bertaburan seperti bunga pala yang jatuh// sudah kusapu
berulang kali/ tapi wajahmu jatuh ke mataku/ rindumu jatuh ke halaman
jantungku/ kita berjumpa di alam kata/ kita bertemu di jejak suara//
aku tak tahu harus bicara apa//***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar