Translate

Kamis, 09 Mei 2013

Religiositas Dalam Tafsir Meitha KH l Khazanah l HU Pikiran Rakyat l 14 Oktober 201 oleh Soni Farid Maulana pada 14 Oktober 2012 pukul 17:46 ·

Catatan SONI FARID MAULANA

SEJUMLAH  puisi yang ditulis oleh penyair Meitha KH dalam antologi puisi Mesin Waktu  (2000-2012) cukup menarik untuk disimak. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Majelis Sastra Bandung ini berisi  49 puisi, terbit pada bulan Oktober 2012. Kumpulan puisi  ini, tidak hanya mengungkap hubungan aku lirik dengan Tuhan, dan  alam sekitarnya, tetapi juga mengungkap  hubungan aku lirik dan engkau lirik dengan berbagai variasinya. Kemampuan Meitha dalam mengolah kata sebagai bahasa ungkap yang mempribadi, membuat sejumlah puisi yang ditulisnya penuh dengan daya kejut, sebagaimana yang kita baca dalam puisi yang diberi judul Kuburan. Selengkapnya puisi tersebut  berbunyi:  melewati kuburan, ada yang pergi ada yang kembali/  cinta bagaikan kematian/  setelah lama tertidur, pada waktunya bangkit kembali./  daun bergoyang, angin menyapu telingamu. aku rindu../ kegelapan memeluk kita, seolah berkata: ajak aku kemanapun kau mau.// apakah benar, cinta akan mati lalu hidup lagi?// sembilan tahun tak bertemu, sungaiku kemarau, sawah terbelah, peluh bersimbah./ tanganku melingkar dipinggangmu, tak ada suara selain degup jantung yang tak sempat kuhitung.// kuburkan aku di hatimu.//


Dalam puisi tersebut Meitha bertanya tentang apa dan bagaimana hakikat cinta itu dalam kehidupan manusia. Apakah benar cinta yang tumbuh dan berkembang dalam hati dan pikiran manusia itu, bisa mati dan bisa hidup lagi bila ia menemukan dunia yang baru, dalam hal ini menemukan orientasi baru dalam berbagai sendi kehidupan manusia?  Pertanyaan-pertanyaan filosofis semacam itulah yang membuat puisi tersebut menarik untuk direnungkan dan penuh dengan daya kejut. Paling tidak, bagi saya puisi tersebut telah menginterupsi pikiran kita sejenak, untuk bertanya tentang apa dan bagaimana watak kemanusiaan itu. Apa sebab? Tumbuh dan berkembangnya rasa cinta dalam pengertian yang seluas-luasnya itu, tidak lepas dari persoalan semacam itu. Adapun kuburan yang ditulis Meitha dalam larik pertama, dalam tataran tafsir, ia bisa mengarah pada kenangan, atau semacam pengalaman masa silam, atau sesuatu yang telah lampau yang layak untuk diziarahi atau dilupakan sekaligus.
Berkaitan dengan itu,  tidak salah kalau almarhum penyair Rendra pernah berkata, bahwa cinta merupakan buah dari kehidupan, dan itu merupakan karunia yang paling besar diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Untuk itu, tanpa cinta kehidupan manusia kering semata. "Bukankah akar keimanan itu juga bermuara pada cinta? Jadi dimensi cinta dalam kehidupan manusia sungguh luas maknanya!"  jelas Rendra, suatu hari pada tahun 1999 lalu di Paris, Perancis. Sekalipun apa yang diungkap oleh Meitha dalam puisinya itu bertitik-pangkal pada apa dan bagaimana nafas cinta itu tumbuh dalam hati manusia, baik ketika ia berada dalam kebahagiaan maupun dalam  penderitaan,  maka denyut yang dikandungnya bukan hanya sebatas pada hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga menjangkau hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian puisi di atas punya wilayah tafsir yang luas, yang secara hermeneutika bisa dibaca dan ditafsir semacam itu.  Untuk itu, larik kuburkan aku di hatimu tidak hanya mengandung muatan sosial-religius, tetapi juga mistis religius.  Apa sebab? Ungkapkan kuburkan dalam puisinya itu - tidak hanya mengandung makna berserah diri, tetapi juga mengungkap makna siap lebur atau melebur dalam penyatuan. Apa pun makna penyatuan itu.
Dalam titik inilah puisi Meitha terasa penuh daya kejut. Kuburan dengan demikian mengandung banyak makna dalam puisi yang ditulisnya itu. Dalam kaitan ini saya hendak mengatakan, dalam mengungkap pengalaman batinnya yang penuh warna itu, Meitha tidak hanya bicara tentang dirinya sendiri yang dilanda oleh kesepian dan kesunyian, tetapi juga tengah mengungkap persoalan tersebut ketataran yang lebih luas dalam konteks spiritual, sehingga setiap pembaca puisi Meitha bisa merasakan bahwa yang dialami oleh aku lirik dalam puisinya itu adalah "pengalaman pembaca" juga.  Dalam tataran yang demikian itu, Meitha berhasil menumbuhkan daya komunikasi yang dibangun puisinya, yang ditulis dengan sintaksis dan semantik yang sederhana, namun kaya makna.
Dalam puisinya yang lain, yang diberi judul Rumah Sakit (2012) ada kesadaran maut yang mengusik hati dan pikiran aku lirik yang ditulisnya. Kesadaran akan mengingat maut sebagaimana dikatakan para ulama adalah kesadaran yang harus terus ditumbuhkan dalam hati dan pikiran manusia. Apa sebab? Karena ujung dari semua itu pada akhirnya akan membawa ingatan kita pada Keagungan dan Kebesaran Allah SWT.  Dalam konteks inilah muatan religius dalam puisi-puisi Meitha semakin terlacak. Puisi tersebut ditulis dengan kalimat yang sederhana, namun kaya makna. Kita baca di bawah ini: Di Cafe rumah sakit, bangku terdiam lampu terdiam, televisi tak juga diam./ Dia duduk sendiri, menikmati teh hangat.// Apa yang dia ingat, saat kematian perlahan mendekat.// Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar !!//


Dari apa yang ditulisnya semacam itu pada satu sisi menunjukkan bahwa Meitha sesungguhnya bukan orang baru dalam menulis puisi. Kalimat-kalimat yang padat dan ringkas yang ditulisnya itu dalam pandangan saya telah menujukkan bagaimana Meitha sungguh hati-hati dalam menggunakan sekaligus memanfaatkan setiap diksi yang dipilihnya dalam menulis puisi.  Untuk itu, tiga larik akhir dari puisi yang ditulisnya telah membuka cakrawala yang lain di hati pembacanya, saat merenungkan maut yang bisa datang kapan saja, dengan penyebabnya yang berbagai-bagai itu. Walau demikian tentu saja, takdir manusia hidup dan mati, tentu saja sudah ditentukan oleh Allah SWT  sejak penciptaan dimulai.  Ironi tentang kematian dengan segala keindahannya ditulis Meitha  dengan larik-larik puisi seperti ini: Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar!!//

Sehubungan itu, tak salah kalau Paul Valery, salah seorang tokoh penyair Prancis modern, pernah berkata, bahwa puisi tidak hanya menjangkau dunia terang dalam kehidupan manusia, tetapi juga menjangkau dunia gelap. Dalam pengertian lebih lanjut puisi tidak hanya membongkar alam sadar manusia tetapi juga mengeksplorasi alam ketaksadaran, sebuah pengalaman paling kelam yang mengendap di dasar hati manusia. Pengalaman-pengalaman kelam semacam itu, dengan ukuran dan kualitasnya tersendiri diungkap Meitha KH. Untuk itu pada sisi-sisi tertentu saya merasa  miris, jika apa yang ditulis Meitha itu bersinggungan dengan kesepian, kesunyian, dan kerinduan tanpa ujung, yang semua itu diungkap dalam bayang-bayang sang maut. Puisinya di bawah ini yang diberi judul Bunga Rumput menunjukkan hal itu: Kau pernah bertanya padaku/ tentang tanah, tentang sekutum bunga./ Apakah cinta kita merekah memerah/ serupa mawar merindu rekah.// Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya bahagia.// Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau cabut.// Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing./ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu.// Juni 2011//

 Perasaan cinta yang diungkap dalam puisi di atas, jelas bukan perasaan cinta anak sekolahan, yang gampang putus dan bubar begitu saja. Perasaan cinta yang diungkap dalam puisinya ini adalah cinta yang penuh pengorbanan, yang dengan telak diungkap Meitha dalam dua larik puisinya, yang berbunyi:  Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya bahagia. Apa sebab demikian?  Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau cabut.//

Dalam konteks inilah renungan religius kembali hadir. Mu lirik dalam puisinya ini tidak lagi mengarah kepada mu yang fana, tetapi Mu yang kekal abadi. Dengan tegas diekspresikan Meitha KH seperti ini: Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing/ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu Paling tidak, dalam catatan yang serba ringkas ini, demikianlah Meitha KH telah hadir ke tengah-tengah kita dengan kumpulan puisinya sederhana, namun sarat dengan permainan makna dan suasana. Kemampuan Meitha  dalam menulis puisi liris semacam ini telah menunjukkan bakatnya besar, yang saya yakin akan terus tumbuh dan berkembang di hari kemudian.  Pada sisi yang lain., kehadiran Meitha dalam dunia puisi Indonesia kini telah memberikan warna tersendiri, yang ditulis oleh kaum perempuan. Namun demikian tentu saja sebuah puisi yang baik di mata pembacanya, tidak mengenal itu. Tidak mengenal apakah puisi tersebut ditulis oleh kaum laki-laki ataukah oleh kaum perempuan.
Bahwa apa yang ditulis oleh Meitha KH terasa personal, memang tidak salah. Sebab dunia puisi itu sendiri pada dasarnya ditulis berdasar pada pengalaman yang personal. Jika terjadi komunikasi yang lancar antara pembaca dan penulis puisi, itu artinya ada kesejajaran pengalaman. Inilah yang membuat saya merasa betah membaca puisi-puisi Meitha KH, yang samar-samar terasa surrealis, dan bahkan simbolis. Apa pun yang ditulis dan dihadirkan Meitha KH dalam kumpulan puisinya ini, ada banyak hal yang layak kita petik dan kita simak. Saya percaya sebuah puisi yang baik, akan hadir ke hadapan pembacanya tanpa harus dijelas-jelaskan isinya oleh sebuah kata pengantar. Dengan demikian kata pengantar ini bisa diabaikan.  Sehubungan dengan itu, saya ingin menutup catatan kecil ini dengan puisi Meitha yang lain, yang diberi judul Minggu Puisi. Puisi yang ditulis pada tahun 2010 berbunyi: Pagi yang kasmaran.../ melantun dengan lagu yang sayup-sayup terdengar dari hatimu yang jauh/ rindunya bertaburan seperti bunga pala yang jatuh//  sudah kusapu berulang kali/  tapi wajahmu jatuh ke mataku/  rindumu jatuh ke halaman jantungku/ kita berjumpa di alam kata/  kita bertemu di jejak suara// aku tak tahu harus bicara apa//***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar