Translate

Kamis, 09 Mei 2013

Sajak-sajak Meitha KH di Pikiran Rakyat Online, 26 April 2011.

Mata Kata (Apresiasi Seni & Budaya)

Menautkan Makna

Selasa, 26/04/2011 - 15:14

DALAM kesempatan kali ini, laman Mata Kata kembali hadir menampilkan puisi yang ditulis oleh penyair Meitha Kartika Herdiyanti (Bogor) dan Oky Syeiful Rahmadsyah Harahap (Bandung). Masing-masing penyair menampilkan dua buah puisi, yang ditulis dengan amat sederhana, namun kaya makna. Masing-masing penyair tampil dengan gaya ucap yang berbeda satu sama lainnya. Namun demikian, keduanya secara esensial mempunyai benang merah yang sama, yakni mengeksplorasi kesunyian dengan berbagai variasinya. Titik pijaknya bermuara pada kerinduan, jauh dari kekasih idaman. Atau paling tidak, kedua penyair tersebut tengah menyeru harapan dan impian akan kebahagiaan hidup, yang penuh gairah.

Imaji alam, simbol, metafor apa pun namanya, bisa kita temukan dalam dua puisi yang ditulis oleh Meitha. Apa yang ditulisnya itu cukup efektif dalam mengomunikasikan gagasan kreatifnya. Ini terjadi, karena Meitha benar-benar fokus dalam mengungkapkan pengalaman batinnya, yang dilanda kesunyian dan kesendirian. Baik ketika pengalaman itu digambarkan dengan sebatang pohon dan sebuah potret, maupun dengan laut, senja, dan bulan. Kemampuan semacam ini memang menjadi daya tarik dan bahkan merupakan ciri khas tersendiri dalam sejumlah puisi yang ditulis Meitha, yang sudah dipublikasikannya sejak awal tahun 2000 lalu, ketika masih mahasiswa dulu.

Sementara itu dalam sejumlah puisi Oky, khususnya yang dimuat dalam laman ini, diksi senja dan gerimis yang menjadi kata kunci dalam puisinya itu, secara esensial juga menyiratkan kesunyian. Lepas dari segala kelebihan dan kelemahannya, Oky paling tidak tengah berupaya sedemikian rupa mengungkapkan gagasan kreatifnya tentang betapa fananya manusia berhadapan dengan waktu, yang ditandai dengan kematian. Meski agak tersendat dalam mengekspresikan pengalaman batinnya itu, setidaknya kemampuan dan keberanian Oky dalam menulis puisi cukup dipujikan. Saya yakin, di kemudian hari ia akan menemukan gaya ucap yang lebih pas dari apa yang sudah ditemukannya selama ini.

Berkaitan dengan itu, Meitha tampak lebih punya pengalaman dalam menulis puisi, dibandingkan dengan Oky. Matang dan tidaknya seorang penyair dalam menulis puisi, dalam hal ini dalam mengolah kata dalam larik-larik puisi yang ditulisnya itu, memang sangat bergantung pada jam terbang. Di samping itu, tentu saja juga sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mau membaca perkembangan dan pertumbuhan penulisan puisi itu sendiri, baik yang ditulis oleh para penyair dari dalam maupun luar negeri.

Tujuannya tentu saja bukan untuk mengekor, melainkan untuk melakukan studi banding, bagaimana para penyair tingkat dunia itu dalam mengolah kata, juga gaya ungkap yang menjadi ciri khasnya itu. Misal, betapa bedanya gaya ungkap Rimbaud dengan Tu Fu. Apa yang membedakan keduanya sangat berlainan dalam gaya ungkap itu? Apa itu simbolisme dan apa itu imajis. Semua itu hanya bisa kita cerap perbedaannya, ketika kita berhadapan dengan kedua teks yang ditulis oleh dua penyair tersebut di atas.

Cara belajar semacam ini tentu tidak salah adanya. Lihatlah Chairil Awar, dalam masa-masa pertumbuhannya ia banyak belajar pada para penyair asing, baik para penyair yang tumbuh dan berkembang di Amerika maupun di Inggris dan Perancis. Demikian juga dengan penyair Amir Hamzah dan bahkan penyair Acep Zamzam Noor pun melakukan hal yang sama. Ia tidak hanya belajar pada gaya ucap Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, juga pada Rumi dan Baudelaire.

Selain itu tentu saja harus juga meluaskan wawasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang demikian itu, sebagaimana dikatakan penyair Rendra almarhum, penyair harus menjadikan dirinya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Apa sebab? Agar teks dan konteks tidak saling mematikan, melainkan saling menautkan makna. Selebihnya, selamat berkarya, masa depan berdiri tegak di hadapan. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***

Sajak-sajak Meitha Kartika Herdiyanti

 POTRETMU
             -   untuk Michael Nauli
Pada tanah yang kosong, sebatang pohon menua menanam cerita.
Hatinya bagai selembar daun, terjatuh, bersimpuh di atas batu batu.
Pada tanah yang basah, jiwamu mengakar sampai ke dasar.
Berbisik kisah, merindu kasih, membenam sunyi.
Pada pohon yang sendiri,
Potretmu
begitu abadi.
2011

BULAN ITU
Laut itu mike,
Seperti perjalanan ombak membawa ikan ikan, menepi ke pantai, bergemuruh dalam dada manusia.
Senja itu mike,
Memerah seperti hatiku yang tak berumah.
Meringkas cahaya, mengubur hasrat,
Dalam tanah jiwa bersungai airmata.
Bulan itu mike,
Tak juga abadi..seperti kesedihan dan kebahagian yang silih berganti. Lantas hidup kita menjadi ada, menjadi arti, menjadi tanya.
Di depan laut, saat senja merendah, bulan meninggi di atas kita.
Semoga mimpi kita menjelang sama..
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar