Di Balik Songket
Tanah Palembang kutinggalkan seusai hujan dalam keadaan basah
Mirip tetes-tetes air mata yang kau sembunyikan
di sela-sela lentik bulu matamu
yang kurasakan makin hari makin indah
Sementara kaki ini sulit sekali kutahan untuk terus melangkah
Seperti ada hati yang berteriak-teriak lantang
karena bunganya sedang harum merekah
Di Balik Songket (2)
Cahaya dan kaca
Apakah yang kalian lihat dari pertempuran ini?
Kelopak mata sipit terbuka membentuk garis lengkung
Jembatan mimpi atas tangis
Suka dan tawa duka sepanjang napas
Tetapi engkau membawa penghiburan
Karena engkaulah penghibur itu
Kesesatan semu hadir karena kilat cahaya membentur kaca
Maka kutunggu senyum anggukmu kesesatan semuku
Oktober 2009
Di Balik Songket (3)
Beethoven, Vivaldi!
Kemana tangis itu pergi?
Dia belum datang, katamu
Dia pasti datang, katanya
Lalu apa makna aroma ini?
Kata, angka, suara, rasa, semua Semua!
Baikkah kuakhiri saja mimpi ini?
Meski kepala-kepala adalah titik dan garis statistik,
pun asap rokok menggambar buih dan mataku pedih
Tapi tanganmu masih menggaruk di sana
Menanti tangan (tangan?) lain menggaruk yang lain
Cantik, katanya Rindu, katamu
Tapi air terlanjur mengalir dari gunung
Bukan layaknya larva krakatau dan champaigne yang membasahi wanita berpayung
Baiklah kuakhiri saja mimpi ini
Lalu kugambar garis dan titik menjadi statistik semu
Oktober 2009
Di Balik Songket (4)
Azan siangmu berpetir
Pelangi patah menjadi biru hitam dan pink:
biru adalah ibu, hitam melindungi, pink kebebasan
Aku bukanlah pelangi itu
Tak berpatah
Tiada patah karena aku adalah abu- abu
Putihnya indah, hitamnya sejuk
Dayang-dayang pun menari dengan dada setegang busur
Bersiap melesatkan wajah-wajah kelaparan dan keniscayaan
Anak-anak tertawa di pinggir lintasan tamiya
Saling bertabrakan,
Pecah, bukan saja patah
Pecah menjadi tidak lagi biru, pink atau hitam
Azan yg berpetir
Meninggalkan yang patah dan pecah: lihatlah matamu, adakah aku abu-abu?
Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar