Jumat, 05 Juli 2024

Euforia Ramadan di Kampus Perjuangan (Cerpen karya Tiara Putri Insani)

 

 

 


Makan gak makan asal kumpul, atau kumpul gak kumpul asal makan?

Begitu celoteh canda seorang mahasiswi saat berbuka puasa dengan makanan sederhana bersama teman-teman sekamarnya. Ya, mahasiswi itu aku. Aku yang sedang merasa tertampar saat berbicara bersama orang-orang yang tak biasa, mendengar cerita mereka, dan menyeka ego saat nafsu menguasai rasa.  Sedikit ingin bercerita tentang sebuah euforia Ramadan di Kampus tempat kuberjuang. Semua memori itu, terpatri di dasar hati dan selalu menjadi pendidik diri.

Sudah menjadi adat dalam menyiapkan makanan lebih saat Ramadan tiba. Bukan ajang untuk balas dendam karena menahan lapar seharian, lalu ketika malam, terserang kekenyangan  hanya karena over dosis makanan. Bukan pula untuk menyalurkan hobi memasak lalu ketika makanan sudah tersaji dibiarkan tak dihidangkan.

Ramadan adalah ajang untuk mengeluarkan segenap kemampuan dan kemauan. Kemampuan untuk memasak lalu kemauan untuk berbagi makanan kepada para penunai kewajiban Tuhan. Sudah menjadi adat tahunan di kampus kami untuk berbagi makanan dengan orang-orang sekitar. Ada tim khusus untuk mempersiapkan itu semua. Bukan untuk mencari muka apalagi menuai rida manusia, melainkan pahala yang menggunung menjadi alasan untuk semua agar tak diam tanpa memberi manfaat pada sesama.

Di kampus kami, STIBA Ar Raayah Sukabumi, ada program tahunan yang dinamai Bahjah Ramadhan. Terdapat beberapa divisi di dalamnya, dan yang akan aku ceritakan saat ini adalah divisi konsumsi. Para mahasiswi yang bergabung di bagian ini sudah tak diragukan lagi dengan keahliannya dalam memasak. Kami menyebutnya dengan Koki-koki gareulis. Gareulis diambil dari Bahasa Sunda dengan asal kata ‘geulis’ yang berarti cantik. Cocoklah ya, untuk divisi yang satu ini.

Enigma di sore hari menjelang berbuka selalu berbeda. Para mahasantri bertanya-tanya, ‘apa kiranya yang disajikan tim penyiap ifthor untuk kita di hari ini?’ tak mengherankan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa kantung mahasiswa tak seperti kantung pejabat negara. Jadi, mengandalkan makanan gratis dari divisi konsumsi adalah sandaran utama untuk mengganjal rasa lapar setelah berpuasa.

Melihat perjuangan divisi konsumsi membuatku penasaran untuk melakukan tanya jawab singkat lalu menuliskannya dalam bentuk paragraf. Lagi-lagi aku menganut pedoman Pramoedya Ananta Toer yang berkata “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ya, hal sekecil apapun itu, aku selalu berusaha untuk mengabadikannya dalam tulisan meski terkadang orang picik selalu menghardik.

Hari itu kusempatkan untuk mengunjungi dapur yang mereka jadikan markas utama dalam berjuang. Dapur kecil yang terletak di belakang asrama satu membuatnya tak memiliki sirkulasi udara yang cukup mumpuni. Rintangan pertama sudah kudapatkan, mereka bekerja di balik suasana yang mungkin sebagian orang mengangkat tangan karena sumpeknya udara di dalam ruangan. Beranjak ke suasana berikutnya. Setelah kulihat, ternyata dapur itu tak memiliki cukup perabot untuk digunakan. Rintangan keduapun telah kutemukan. Mereka tak memiliki alat tempur untuk berjuang. Namun, selalu mereka dapati cara yang cukup signifikan untuk menangkal semua masalah. Meminjam perabot dari ibu dapur adalah cara pilihan walau terkadang harus dilempari amarah ataupun omelan.

Buka puasa bersama adalah program yang diwajibkan Bahjah Ramadan untuk semua mahasantri saat azan magrib tiba. Meski makanan tidak setiap hari melimpah, tetapi kebersamaan adalah sesuatu yang paling utama. Jadi, kumpul gak kumpul asal makan, atau makan gak makan asal kumpul? Begitulah candaan kami saat mendapati makanan yang tak cukup membuat kenyang.

Kembali pada perbincangan kita tentang divisi konsumsi dengan segudang unek-unek mereka. Sebut saja namanya Mbak Sahira, ketua cantik di divisi yang satu ini, selalu menyajikan sesuatu yang tak bisa ditolak para pencicip berlidah konglomerat.

Aku: Mbak, berapa anggota divisi konsumsi? Terus tugasnya masing-masing apa aja?

Mbak Sahira: Delapan belas orang, dan setiap orang punya tanggung jawabnya masing-masing.

Aku: Biasanya kalian ngerasa kesulitan pas nyiapin ifthor tuh dibagian apanya?

Mbak Sahira:Yang paling sulit tuh pas bikin es. Perjuangan bikin es batu tuh, sampe keliling satu komplek Arrayah buat nyari kulkas aja. Kita coba-coba aja buka perbincangan sekalian nanya-nanya ummahat komplek siapa yang mau nerima titipan es di kulkas mereka, hahaha. Kocak sih sebenernya, walau kadang suka cape banget karena harus keliling komplek, dan kita mulai kerjain yang kayak ginian doang biasanya setelah salat zuhur.

Aku: Wah, keren sih usaha kalian, bikin usep dada. Terus, gimana tuh riweuh nya  suasana pas lagi tawzi’ minuman ataupun makanan buat 400 mahasantri?

Mbak Sahira: Hahaha, kalo itu mah di divisi kita orang-orangnya pada gercep. Ngebagiin makanan di 200 gelas sejam atau setengah jam doang mah bisa, gak pake waktu lama.

Aku: Ckckck, laa syakka, wa laa raiba. Nah, terus gimana nih Persiapan buat nyambut id, apa aja yang kalian siapin?

Mbak Sahira: Buat ide, rencananya kita mau hidangkan dimsum, puding, es teh, sama parsel lebaran buat setiap kamar di seluruh asrama mahasantri putri. Buat dimsum, karena itu sebenernya bukan makanan khas kita, jadi kita pilih buat langsung beli jadi aja. Terus kalo buat puding sama es teh kita siapin orang-orang yang udah pro di bidang permasakan dari divisi kita. Nah, kalo persiapan buat belanja bahan makanan dan segala macem, itu tanggung jawab saya. Alhamdulillah ‘alaa kulli hal. Oh iya, kita juga dapet sumbangan kue lebaran dari muhsinah buat nambahin isi parsel lebarannya. Alhamdulillah.

Aku: Wah, Maasyaa Allah. Kataballahu lakunna al-ujuur. Oh iya, budget yang kalian keluarin dari pertama sampe sekarang berapa tuh kira-kira?

Mbak Sahira: Oh, kalo dana dari pertama, yang ngurus bendahara bahjah, kita mah cuma nerima uang aja sebanyak yang kita butuh. Nggak ikut-ikutan mengalkulasikan dana. Tapi yang saya hitung sedikit, kemarin buat beli dimsum aja Rp.1.400.000 kurang lebih, terus kita belanja buat isian parsel Rp.200.000 per parsel. Hitung saja, 200k dikali 34 kamar. Rizqun minallah, Alhamdulillah.

Aku: Alhamdulillah bini’matihi tatimushaalihaat. Berkah Ramadan emang, Mbak. Gak pernah kita ngerasain kelaparan selama tinggal di asrama. Rezeki selalu ngalir, Maasyaa Allah. Barakallahu fiikun Mbak sedivisi, buat perjuangan, cerita dan pengalamannya, jazaakunnallahu ahsanal jazaa.

Begitu kiranya perbincangan singkat kami, dipenuhi tawa dan raut takjub tak percaya. Kerja sama, keja keras dan kerja ikhlas menjadi modal utama dalam program ini sebenarnya. Seperti pepatah yang Khairul Tanjung unggah, ‘Selain kerja keras, hal lain yang harus diingat adalah kerja ikhlas. Setelah itu baru menyerahkan segala hasil kerja keras kepada Tuhan.’ Sepenggal kata yang senada dengan segala jenis usaha.

Ada sebongkah perasaan tak terima saat Mbak Sahira bercerita. Bagaimana bisa mereka menuai pahala sebanyak air yang diolah menjadi penyegar dahaga penduduk kampus tercinta. Bagaimana bisa mereka menjadi pemersatu ratusan kalbu dengan suapan menu yang mahasantri tunggu. Menjadi alasan penguat ikatan kekeluargaan karena makanan, dan  menjadi sebab bahagia dalam hati thalibatul ilmi karena minuman yang digemari.

Terkadang malu mengiris kalbu. Mengapa diri belum pandai mensyukuri padahal di balik keluh ada peluh yang menghantam banyak tubuh. Ada jiwa yang rela menahan dahaga untuk diri agar tak dilabeli si kurang gizi. Ada banyak kepala yang berpikir bagaimana merekah senyum pada sekian ratus bibir. Pun ada tangan pencipta sesuatu yang menakjubkan agar diri tetap nyaman berada dalam kandang yang disucikan.

Terkadang iri menyelimuti hati. Ingin menjadi seperti mereka yang berjuang di tengah urusan pribadi yang menjulang. Mengedepankan hak orang lain hanya dengan bermodal yakin bahwa Sang Pemilik Batin tak akan membuatnya miskin. Semua hanya tentang iman. Bukan tentang ukuran kekuatan badan ataupun banyaknya uang yang mengangkat derajat seseorang. Di sini aku belajar, bagaimana iman menjadikan ukhuwah lebih dibutuhkan dari segala sesuatu yang membuat perut kenyang.

Aku rasa kalimat deskripsiku sudah rancu. Daksaku terlalu lemah untuk mengungkap diksi yang sarat akan makna. Ramadan di kampus kami adalah sesuatu yang tak bisa di ungkapkan melalui lisan dan tulisan. Bukan karena sekedar mengikuti tren zaman yang menggembor-gemborkan Ramadan dengan baju mewah dan makanan yang melimpah, tetapi terkadang kita perlu berlelah-lelah untuk menyambut bulan yang penuh dengan berkah dan keistimewaan agar saat ia tiba, hati dan jiwa sudah bersiaga, berdiri dengan gagah gempita untuk mejadi tirani pemburu pahala sejati.

 

-Selesai-

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar