Kemarau
Lampu-lampu redup
Mimpi mimpi susut
Jantungku berdegup
Jalan-jalan hanyut
Kita bertemu di ujung kesekian
Kita berpisah di belokan kesekian
Musim semakin kelam
Bumi semakin hitam
Gerimis pertama jatuh
Menghentak-hentak dalam jiwa terjauh
Menumbuhkan cinta yang rapuh
Tapi kita kembali merindu kayuh
2002
Salju
Kulit lusuh, jari jari basah, dan rambut yang memutih
Menjadi tanda pada hari yang semakin purba
Aku terjemahkan kata kata-Mu yang tak terbaca,
Mencari sejuta cahaya kekal, dan sisa hujan di setiap kota.
Tanganku semakin menghitam, kuku yang menguning, tak mesti kuinsyafi.
Bukankah telah ada janji, di hari kelak,
Akan Kau bersihkan aku dengan salju – atau justru
Kau hujani aku dengan matahari yang mendekat?
Kemudian aku bertanya pada lumpur, udara, dan langit tertinggi.
Tapi mereka tak pernah tahu keberadaan-Mu.
Bayanganku terkubur,
Tangisku terkubur bersama bahasa yang berbeda-beda itu,
Dan segala pemahamanku.
Aku tak pernah menemukan-Mu, tapi aku bisa merasakan-Mu.
2002
Aku Juga
Aku juga punya sajak, dengan halaman tak tercatat
Aku juga punya artikel, tergantung di kabel otak
Aku juga punya esai, dengan Tanya dan jawab yang tak usai.
Sajakku, artikelku, dan esaiku
Tak tertulis lewat kertas, tak terucap dengan kata
Berlarian, berpapasan, dan berlupakan.
Dan kamar kita memang tak pernah menyimpan cinta
Hanya sajak-sajak yang terserap
Di dingin dinding dan jendela kaca
2002
Formentera
Aku teriakkan namamu di puncak tebing cala saona
Lalu menara El pilar de La Mola membisikkan gema
Suara serakku bercampur kerinduan yang tertua.
Tak ada jawaban memang,
Hanya desir angin dan lembur pasir
Menyelesar ke dalam batinku.
Kuteguk bergelas-gelas Hierbas
Sambil mencarimu di antara minuman dan
Makanan khas Es Calo den San Aqusti.
Bahkan di pulau ini,
Formentera dengan sejuta keindahannya
Hanya mencatatmu dengan ayat-ayat cinta
Yang tak terucapkan!
2002
Selalu terpesona oleh sastra...
BalasHapus