Selasa, 28 Mei 2013
Zikir Musafir (Meitha KH)
Senin, 27 Mei 2013
Meitha KH Luncurkan Buku ‘Mesin Waktu’
Bisnis-Jabar.com 28 Oktober 2012
Minggu, 19 Mei 2013
Teh Hitam Pernikahan (Meitha KH)
di kitab-kitab, di jarak ayat,
di dengung wirid antara degup dan dekap.
Barangkali ini yang bisa kita simpulkan.
Takdir, sudah dicatat Tuhan jauh sebelum kita dilahirkan.
Nama kita terbaca untuk saling mengulang,
pertemuan dan perpisahan--- sebentar tatap, sebentar ratap,
sebentar gelap.
Kapankah rencana-rencana menjadi sebuah laporan?
imanjinasi tentangmu tumbuh kadang-kadang.
Kapan surge menjadi takdir kita.
Doa kita belum sempurna,
dosa kita mungkin sudah.
Bandung, 2013
Jumat, 10 Mei 2013
Lima Kriteria Pemimpin
Kepemimpinan pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu. Seperti yang terdapat pada beberapa sumber yang menuliskan ”Setiap kalian adalah pemimpin”.
Pierre Teilhard de Chardin mengatakan bahwa
”We are not human beings a spiritual experience; we are spiritual
beings having a human experience”. Melalui pendapat tersebut kita masih
bisa merenungkan kodrat kita sebagai manusia, apakah kita menjadi
manusia karena pengalaman spiritual ataukah kita menjadi spiritual
karena pengalaman manusiawi. De Chardin sendiri, meyakini bahwa kita
adalah mahluk-mahluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman
manusiawi.
Ada lima kriteria pada karakter pemimpin. Pemimpin yang
pertama adalah pemimpin yang mengajak orang lain dengan paksaan,
pemimpin yang semacam ini adalah pemimpin dalam level terendah. Ia bisa
melakukan cara apapun agar orang lain membantu melaksanakan
keinginannya. Kita mungkin bisa juga menyebut kepemimpinan semacam ini
dengan istilah diktator. Kita tahu seorang diktator, apalagi diktator
yang menghalalkan segala cara tidaklah disukai oleh pada umumnya
manusia. Tetapi, pada saat-saat tertentu kediktatoran diperlukan. Kita
tidak usah menutup mata, bahwa begitu banyak tokoh berpengaruh yang
mempengaruhi dunia dan menjadi bagian penting dari sejarah, oleh sebab
kediktatoranya.
Pemimpin yang kedua, adalah pemimpin yang menakut
nakuti. Pemimpin tersebut tentu saja tidak menghalalkan segala cara melainkan memahami orang lain sebagai mahluk yang penakut. Namun, mungkin pada
saat tertentu, pemimpin yang baik dapat juga memanfaatkan efek takut
dari manajemen kepemimpinan tersebut.
Pemimpin yang ketiga adalah
kepemimpinan yang didasarkan pada reward (imbalan). Pemimpin semacam ini
adalah pemimpin yang memanfaatkan ketakutan orang-orang yang dipimpinnya. Metode memberikan reward dapat dijadikan stimulus untuk
merangsang mereka yang kurang motivasi dalam bekerja.
Pemimpin
keempat, adalah pemimpin yang rasional. Pemimpin semacam ini adalah
pemimpin yang penuh perjuangan, karena ia percaya bahwa efektivitas
kepemimpinannya semata ditentukan oleh cara berpikir yang diperintahnya.
Karena itu, pemimpin pada level ini adalah seorang yang selalu mengajak
orang lain untuk mengikuti pikirannya yang didasarkan pada
alasan-alasan rasional.
Sedangkan pemimpin yang kelima adalah pemimpin yang
memimpin dengan permintaan biasa. Modal dasar dari kepemimpinan yang
utama ini adalah kepercayaan. Membangun kepercayaan pada bawahan
tentu saja tidak mudah. Tapi semuanya hanya mungkin apabila dimulai oleh
kepercayaan pimpinan pada kemampuan bawahannya.
Ada satu kisah
sederhana yang dialami oleh Mahatma Gandhi. Pada suatu hari Mahatma
Gandhi didatangi oleh seorang ibu dan anaknya. Ibu itu bertanya,
bagaimana caranya supaya anak saya tidak lagi makan permen sebab takut
merusak giginya. Ibu itu percaya, orang bijak seperti Gandhi lah yang
bisa menghentikan kebiasaan buruk anaknya. Tanpa diduga, Gandhi menyuruh
ibu itu pulang dan kembali seminggu lagi. Seminggu kemudian ibu itu
kembali bersama anaknya, dan menagih janji Gandhi. Gandhi pun memandang
anak itu dan berkata: Nak, mulai saat ini janganlah lagi kamu makan
permen, karena permen merusak gigimu. Lalu ibu itu berkata, kalau hanya
itu yang anda katakan, mengapa tidak sejak seminggu yang lalu. Dengan
sederhana Gandhi menjawab, karena seminggu yang lalu saya sendiri masih
makan permen.
Kisah sederhana tersebut, pada dasarnya adalah pelajaran
penting bagi pemimpin untuk memulai dari diri sendiri. Dalam bahasa
populer belakangan ini, apa yang dilakukan Gandhi dapat kita sebut
integritas.
Referensi: Arvan Pradiansyah
Pengaruh Televisi
Sebutlah keluarga, bertahun-tahun nonton televisi (sinetron) membentuk pola pikir dan gaya hidup yang konsumtif. Setiap produk baru seolah-olah menjadi barang wajib yang harus dibeli. Kemewahan, konflik, memilih pasangan, semuanya menjadi cara pandang yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Busana yang dikenakan jika akan menghadiri undangan pun harus sama warnanya dengan tas, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Ini bukan soal salah atau benar, tapi persepsi mengenai pantas, harus, malu, menjadi ayat atau hadis yang harus dipatuhi.
Pun dalam memilih pasangan. Pengaruh sinetron telah membentuk pola pikir sebagian masyarakat dalam memilih pasangan. Mencari suami yang mapan, sudah memiliki rumah dan kendaraan, dan sebagainya. Hal pertama yang ditanyakan orangtua adalah pekerjaan, bukan agama.
Mungkin kita akan mengembalikannya kepada panduan hidup sesuai agama masing-masing. Tapi ternyata, agama juga belum bisa menyelesaikan perkara ini. Ibu-ibu di sekitar rumah saya rutin mengikuti pengajian setiap minggu. Bahkan, ada yang setiap hari. Jika kita memahami dan menerapkan ajaran agama tersebut, tentu perubahan pola pikir dan gaya hidup yang berlebihan itu tidak akan terjadi.
Pengajian-pengajian yang digelar di sekitar lingkungan saya memang membahas banyak hal. Mulai dari syariat agama sampai hubungan dengan manusia. Tetapi, saya belum menemukan gaya atau dalam hal ini kita sebut saja “kampanye” yang secara konsisten mendobrak pola pikir dan gaya hidup sesuai tuntutan agama (islam). Entah karena kurangnya keterampilan “berdakwah” atau tidak ada konsentrasi kesana. Agama menjadi semacam kata-kata motivasi yang kita sadari pada saat itu lalu kemudian dilupakan.
Akhirnya, menurut saya pribadi, apapun pendekatannya, masyarakat harus mulai dibangun kesadaran untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki mental. Barangkali, budaya membaca, budaya memahami, budaya berduskusi, bisa menjadi alternatif untuk persoalan tersebut.
Kamis, 09 Mei 2013
Meja Makan yang Lajang (Meitha KH)
Meja Makan yang Lajang
Seperti apa kebisuan?
Saat meja makan tak lagi beradu menu,
Dapur lusuh lama tak disentuh,
Perempuan seperti aku: memasak rindu adalah cinta yang utuh.
Seperti apa kebisuan?
Kamar tak lagi bersuara, mimpi hilang disambut koran-koran pagi penuh nama.
Nama: siapapun bisa saling mengenal lantas melupakan.
Seperti apa kebisuan?
Ruang tamu dengan kursi kayu semakin dingin,
tak ada gemuruh angin saat senja gigil,
tak ada denting piring membunyikan cinta yang genting.
Cinta: saat engkau mengatakan ingin berpisah
aku menerimanya dengan ikhlas.
#Tak ada tahun untuk melupakanmu.
Religiositas Dalam Tafsir Meitha KH
Catatan SONI FARID MAULANA
SEJUMLAH puisi yang ditulis oleh penyair Meitha KH dalam antologi puisi Mesin Waktu (2000-2012)
cukup menarik untuk disimak. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh
Majelis Sastra Bandung ini berisi 49 puisi, terbit pada bulan Oktober
2012. Kumpulan puisi ini, tidak hanya mengungkap hubungan aku lirik
dengan Tuhan, dan alam sekitarnya, tetapi juga mengungkap hubungan aku
lirik dan engkau lirik dengan berbagai variasinya. Kemampuan Meitha
dalam mengolah kata sebagai bahasa ungkap yang mempribadi, membuat
sejumlah puisi yang ditulisnya penuh dengan daya kejut, sebagaimana yang
kita baca dalam puisi yang diberi judul Kuburan. Selengkapnya puisi tersebut berbunyi: melewati
kuburan, ada yang pergi ada yang kembali/ cinta bagaikan kematian/
setelah lama tertidur, pada waktunya bangkit kembali./ daun bergoyang,
angin menyapu telingamu. aku rindu../ kegelapan memeluk kita, seolah
berkata: ajak aku kemanapun kau mau.// apakah benar, cinta akan mati
lalu hidup lagi?// sembilan tahun tak bertemu, sungaiku kemarau, sawah
terbelah, peluh bersimbah./ tanganku melingkar dipinggangmu, tak ada
suara selain degup jantung yang tak sempat kuhitung.// kuburkan aku di
hatimu.//
Dalam puisi
tersebut Meitha bertanya tentang apa dan bagaimana hakikat cinta itu
dalam kehidupan manusia. Apakah benar cinta yang tumbuh dan berkembang
dalam hati dan pikiran manusia itu, bisa mati dan bisa hidup lagi bila
ia menemukan dunia yang baru, dalam hal ini menemukan orientasi baru
dalam berbagai sendi kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan filosofis
semacam itulah yang membuat puisi tersebut menarik untuk direnungkan
dan penuh dengan daya kejut. Paling tidak, bagi saya puisi tersebut
telah menginterupsi pikiran kita sejenak, untuk bertanya tentang apa dan
bagaimana watak kemanusiaan itu. Apa sebab? Tumbuh dan berkembangnya
rasa cinta dalam pengertian yang seluas-luasnya itu, tidak lepas dari
persoalan semacam itu. Adapun kuburan yang ditulis Meitha dalam
larik pertama, dalam tataran tafsir, ia bisa mengarah pada kenangan,
atau semacam pengalaman masa silam, atau sesuatu yang telah lampau yang
layak untuk diziarahi atau dilupakan sekaligus.
Berkaitan dengan itu, tidak salah kalau almarhum penyair Rendra pernah berkata, bahwa cinta merupakan buah dari kehidupan, dan itu merupakan karunia yang paling besar diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Untuk itu, tanpa cinta kehidupan manusia kering semata. "Bukankah akar keimanan itu juga bermuara pada cinta? Jadi dimensi cinta dalam kehidupan manusia sungguh luas maknanya!" jelas Rendra, suatu hari pada tahun 1999 lalu di Paris, Perancis. Sekalipun apa yang diungkap oleh Meitha dalam puisinya itu bertitik-pangkal pada apa dan bagaimana nafas cinta itu tumbuh dalam hati manusia, baik ketika ia berada dalam kebahagiaan maupun dalam penderitaan, maka denyut yang dikandungnya bukan hanya sebatas pada hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga menjangkau hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian puisi di atas punya wilayah tafsir yang luas, yang secara hermeneutika bisa dibaca dan ditafsir semacam itu. Untuk itu, larik kuburkan aku di hatimu tidak hanya mengandung muatan sosial-religius, tetapi juga mistis religius. Apa sebab? Ungkapkan kuburkan dalam puisinya itu - tidak hanya mengandung makna berserah diri, tetapi juga mengungkap makna siap lebur atau melebur dalam penyatuan. Apa pun makna penyatuan itu.
Dalam titik inilah puisi Meitha terasa penuh daya kejut. Kuburan
dengan demikian mengandung banyak makna dalam puisi yang ditulisnya
itu. Dalam kaitan ini saya hendak mengatakan, dalam mengungkap
pengalaman batinnya yang penuh warna itu, Meitha tidak hanya bicara
tentang dirinya sendiri yang dilanda oleh kesepian dan kesunyian, tetapi
juga tengah mengungkap persoalan tersebut ketataran yang lebih luas
dalam konteks spiritual, sehingga setiap pembaca puisi Meitha bisa
merasakan bahwa yang dialami oleh aku lirik dalam puisinya itu adalah
"pengalaman pembaca" juga. Dalam tataran yang demikian itu, Meitha
berhasil menumbuhkan daya komunikasi yang dibangun puisinya, yang
ditulis dengan sintaksis dan semantik yang sederhana, namun kaya makna.
Dalam puisinya yang lain, yang diberi judul Rumah Sakit
(2012) ada kesadaran maut yang mengusik hati dan pikiran aku lirik yang
ditulisnya. Kesadaran akan mengingat maut sebagaimana dikatakan para
ulama adalah kesadaran yang harus terus ditumbuhkan dalam hati dan
pikiran manusia. Apa sebab? Karena ujung dari semua itu pada akhirnya
akan membawa ingatan kita pada Keagungan dan Kebesaran Allah SWT. Dalam
konteks inilah muatan religius dalam puisi-puisi Meitha semakin
terlacak. Puisi tersebut ditulis dengan kalimat yang sederhana, namun
kaya makna. Kita baca di bawah ini: Di Cafe rumah sakit, bangku
terdiam lampu terdiam, televisi tak juga diam./ Dia duduk sendiri,
menikmati teh hangat.// Apa yang dia ingat, saat kematian perlahan
mendekat.// Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/
Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan
segera keluar !!//
Dari apa
yang ditulisnya semacam itu pada satu sisi menunjukkan bahwa Meitha
sesungguhnya bukan orang baru dalam menulis puisi. Kalimat-kalimat yang
padat dan ringkas yang ditulisnya itu dalam pandangan saya telah
menujukkan bagaimana Meitha sungguh hati-hati dalam menggunakan
sekaligus memanfaatkan setiap diksi yang dipilihnya dalam menulis puisi.
Untuk itu, tiga larik akhir dari puisi yang ditulisnya telah membuka
cakrawala yang lain di hati pembacanya, saat merenungkan maut yang bisa
datang kapan saja, dengan penyebabnya yang berbagai-bagai itu. Walau
demikian tentu saja, takdir manusia hidup dan mati, tentu saja sudah
ditentukan oleh Allah SWT sejak penciptaan dimulai. Ironi tentang
kematian dengan segala keindahannya ditulis Meitha dengan larik-larik
puisi seperti ini: Bibirnya ikhlas, tidak juga membantah. "Dilarang Merokok"/ Tapi dadanya menyulut abu, memendam rindu, meyimpan dendam./ Aku akan segera keluar!!//
Sehubungan
itu, tak salah kalau Paul Valery, salah seorang tokoh penyair Prancis
modern, pernah berkata, bahwa puisi tidak hanya menjangkau dunia terang
dalam kehidupan manusia, tetapi juga menjangkau dunia gelap. Dalam
pengertian lebih lanjut puisi tidak hanya membongkar alam sadar manusia
tetapi juga mengeksplorasi alam ketaksadaran, sebuah pengalaman paling
kelam yang mengendap di dasar hati manusia. Pengalaman-pengalaman kelam
semacam itu, dengan ukuran dan kualitasnya tersendiri diungkap Meitha
KH. Untuk itu pada sisi-sisi tertentu saya merasa miris, jika apa yang
ditulis Meitha itu bersinggungan dengan kesepian, kesunyian, dan
kerinduan tanpa ujung, yang semua itu diungkap dalam bayang-bayang sang
maut. Puisinya di bawah ini yang diberi judul Bunga Rumput menunjukkan hal itu: Kau
pernah bertanya padaku/ tentang tanah, tentang sekutum bunga./ Apakah
cinta kita merekah memerah/ serupa mawar merindu rekah.// Kisah ini
bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar drama yang akhirnya
bahagia.// Sebab mencintaimu adalah memberi, sebab bunga/ yang
kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa bunga rumput/ hidup dan tumbuh di
tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku akan kembali hidup meski kau
cabut.// Sebab mencintaimu sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli
terasing./ Sebab rumput hatiku menghijau di jiwamu.// Juni 2011//
Perasaan
cinta yang diungkap dalam puisi di atas, jelas bukan perasaan cinta
anak sekolahan, yang gampang putus dan bubar begitu saja. Perasaan cinta
yang diungkap dalam puisinya ini adalah cinta yang penuh pengorbanan,
yang dengan telak diungkap Meitha dalam dua larik puisinya, yang
berbunyi: Kisah ini bukan kisah Rama dan Shinta, atau/ layar-layar
drama yang akhirnya bahagia. Apa sebab demikian? Sebab mencintaimu
adalah memberi, sebab bunga/ yang kujanjikan bukanlah ilusi./ Serupa
bunga rumput/ hidup dan tumbuh di tiap sudut/ tak perlu kau pupuk,/ aku
akan kembali hidup meski kau cabut.//
Dalam
konteks inilah renungan religius kembali hadir. Mu lirik dalam puisinya
ini tidak lagi mengarah kepada mu yang fana, tetapi Mu yang kekal abadi.
Dengan tegas diekspresikan Meitha KH seperti ini: Sebab mencintaimu
sekekal waktu/ tak kenal musim, tak peduli terasing/ Sebab rumput hatiku
menghijau di jiwamu Paling tidak, dalam catatan yang serba ringkas ini,
demikianlah Meitha KH telah hadir ke tengah-tengah kita dengan kumpulan
puisinya sederhana, namun sarat dengan permainan makna dan suasana.
Kemampuan Meitha dalam menulis puisi liris semacam ini telah
menunjukkan bakatnya besar, yang saya yakin akan terus tumbuh dan
berkembang di hari kemudian. Pada sisi yang lain., kehadiran Meitha
dalam dunia puisi Indonesia kini telah memberikan warna tersendiri, yang
ditulis oleh kaum perempuan. Namun demikian tentu saja sebuah puisi
yang baik di mata pembacanya, tidak mengenal itu. Tidak mengenal apakah
puisi tersebut ditulis oleh kaum laki-laki ataukah oleh kaum perempuan.
Bahwa apa yang ditulis oleh Meitha KH terasa personal, memang tidak salah. Sebab dunia puisi itu sendiri pada dasarnya ditulis berdasar pada pengalaman yang personal. Jika terjadi komunikasi yang lancar antara pembaca dan penulis puisi, itu artinya ada kesejajaran pengalaman. Inilah yang membuat saya merasa betah membaca puisi-puisi Meitha KH, yang samar-samar terasa surrealis, dan bahkan simbolis. Apa pun yang ditulis dan dihadirkan Meitha KH dalam kumpulan puisinya ini, ada banyak hal yang layak kita petik dan kita simak. Saya percaya sebuah puisi yang baik, akan hadir ke hadapan pembacanya tanpa harus dijelas-jelaskan isinya oleh sebuah kata pengantar. Dengan demikian kata pengantar ini bisa diabaikan. Sehubungan dengan itu, saya ingin menutup catatan kecil ini dengan puisi Meitha yang lain, yang diberi judul Minggu Puisi. Puisi yang ditulis pada tahun 2010 berbunyi: Pagi yang kasmaran.../ melantun dengan lagu yang sayup-sayup terdengar dari hatimu yang jauh/ rindunya bertaburan seperti bunga pala yang jatuh// sudah kusapu berulang kali/ tapi wajahmu jatuh ke mataku/ rindumu jatuh ke halaman jantungku/ kita berjumpa di alam kata/ kita bertemu di jejak suara// aku tak tahu harus bicara apa//***
Menautkan Makna
Menautkan Makna
DALAM kesempatan kali ini, laman Mata Kata kembali hadir menampilkan puisi yang ditulis oleh penyair Meitha Kartika Herdiyanti (Bogor) dan Oky Syeiful Rahmadsyah Harahap (Bandung). Masing-masing penyair menampilkan dua buah puisi, yang ditulis dengan amat sederhana, namun kaya makna. Masing-masing penyair tampil dengan gaya ucap yang berbeda satu sama lainnya. Namun demikian, keduanya secara esensial mempunyai benang merah yang sama, yakni mengeksplorasi kesunyian dengan berbagai variasinya. Titik pijaknya bermuara pada kerinduan, jauh dari kekasih idaman. Atau paling tidak, kedua penyair tersebut tengah menyeru harapan dan impian akan kebahagiaan hidup, yang penuh gairah.
Imaji alam, simbol, metafor apa pun namanya, bisa kita temukan dalam dua puisi yang ditulis oleh Meitha. Apa yang ditulisnya itu cukup efektif dalam mengomunikasikan gagasan kreatifnya. Ini terjadi, karena Meitha benar-benar fokus dalam mengungkapkan pengalaman batinnya, yang dilanda kesunyian dan kesendirian. Baik ketika pengalaman itu digambarkan dengan sebatang pohon dan sebuah potret, maupun dengan laut, senja, dan bulan. Kemampuan semacam ini memang menjadi daya tarik dan bahkan merupakan ciri khas tersendiri dalam sejumlah puisi yang ditulis Meitha, yang sudah dipublikasikannya sejak awal tahun 2000 lalu, ketika masih mahasiswa dulu.
Sementara itu dalam sejumlah puisi Oky, khususnya yang dimuat dalam laman ini, diksi senja dan gerimis yang menjadi kata kunci dalam puisinya itu, secara esensial juga menyiratkan kesunyian. Lepas dari segala kelebihan dan kelemahannya, Oky paling tidak tengah berupaya sedemikian rupa mengungkapkan gagasan kreatifnya tentang betapa fananya manusia berhadapan dengan waktu, yang ditandai dengan kematian. Meski agak tersendat dalam mengekspresikan pengalaman batinnya itu, setidaknya kemampuan dan keberanian Oky dalam menulis puisi cukup dipujikan. Saya yakin, di kemudian hari ia akan menemukan gaya ucap yang lebih pas dari apa yang sudah ditemukannya selama ini.
Berkaitan dengan itu, Meitha tampak lebih punya pengalaman dalam menulis puisi, dibandingkan dengan Oky. Matang dan tidaknya seorang penyair dalam menulis puisi, dalam hal ini dalam mengolah kata dalam larik-larik puisi yang ditulisnya itu, memang sangat bergantung pada jam terbang. Di samping itu, tentu saja juga sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mau membaca perkembangan dan pertumbuhan penulisan puisi itu sendiri, baik yang ditulis oleh para penyair dari dalam maupun luar negeri.
Tujuannya tentu saja bukan untuk mengekor, melainkan untuk melakukan studi banding, bagaimana para penyair tingkat dunia itu dalam mengolah kata, juga gaya ungkap yang menjadi ciri khasnya itu. Misal, betapa bedanya gaya ungkap Rimbaud dengan Tu Fu. Apa yang membedakan keduanya sangat berlainan dalam gaya ungkap itu? Apa itu simbolisme dan apa itu imajis. Semua itu hanya bisa kita cerap perbedaannya, ketika kita berhadapan dengan kedua teks yang ditulis oleh dua penyair tersebut di atas.
Cara belajar semacam ini tentu tidak salah adanya. Lihatlah Chairil Awar, dalam masa-masa pertumbuhannya ia banyak belajar pada para penyair asing, baik para penyair yang tumbuh dan berkembang di Amerika maupun di Inggris dan Perancis. Demikian juga dengan penyair Amir Hamzah dan bahkan penyair Acep Zamzam Noor pun melakukan hal yang sama. Ia tidak hanya belajar pada gaya ucap Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, juga pada Rumi dan Baudelaire.
Selain itu tentu saja harus juga meluaskan wawasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang demikian itu, sebagaimana dikatakan penyair Rendra almarhum, penyair harus menjadikan dirinya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Apa sebab? Agar teks dan konteks tidak saling mematikan, melainkan saling menautkan makna. Selebihnya, selamat berkarya, masa depan berdiri tegak di hadapan. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***
Sajak-sajak Meitha Kartika Herdiyanti
POTRETMU
- untuk Michael Nauli
Pada tanah yang kosong, sebatang pohon menua menanam cerita.
Hatinya bagai selembar daun, terjatuh, bersimpuh di atas batu batu.
Pada tanah yang basah, jiwamu mengakar sampai ke dasar.
Berbisik kisah, merindu kasih, membenam sunyi.
Pada pohon yang sendiri,
Potretmu
begitu abadi.
2011
BULAN ITU
Laut itu mike,
Seperti perjalanan ombak membawa ikan ikan, menepi ke pantai, bergemuruh dalam dada manusia.
Senja itu mike,
Memerah seperti hatiku yang tak berumah.
Meringkas cahaya, mengubur hasrat,
Dalam tanah jiwa bersungai airmata.
Bulan itu mike,
Tak juga abadi..seperti kesedihan dan kebahagian yang silih berganti. Lantas hidup kita menjadi ada, menjadi arti, menjadi tanya.
Di depan laut, saat senja merendah, bulan meninggi di atas kita.
Semoga mimpi kita menjelang sama..
2011
Kemarau (Meitha KH)
Kemarau
Lampu-lampu redup
Mimpi mimpi susut
Jantungku berdegup
Jalan-jalan hanyut
Kita bertemu di ujung kesekian
Kita berpisah di belokan kesekian
Musim semakin kelam
Bumi semakin hitam
Gerimis pertama jatuh
Menghentak-hentak dalam jiwa terjauh
Menumbuhkan cinta yang rapuh
Tapi kita kembali merindu kayuh
2002
Salju
Kulit lusuh, jari jari basah, dan rambut yang memutih
Menjadi tanda pada hari yang semakin purba
Aku terjemahkan kata kata-Mu yang tak terbaca,
Mencari sejuta cahaya kekal, dan sisa hujan di setiap kota.
Tanganku semakin menghitam, kuku yang menguning, tak mesti kuinsyafi.
Bukankah telah ada janji, di hari kelak,
Akan Kau bersihkan aku dengan salju – atau justru
Kau hujani aku dengan matahari yang mendekat?
Kemudian aku bertanya pada lumpur, udara, dan langit tertinggi.
Tapi mereka tak pernah tahu keberadaan-Mu.
Bayanganku terkubur,
Tangisku terkubur bersama bahasa yang berbeda-beda itu,
Dan segala pemahamanku.
Aku tak pernah menemukan-Mu, tapi aku bisa merasakan-Mu.
2002
Aku Juga
Aku juga punya sajak, dengan halaman tak tercatat
Aku juga punya artikel, tergantung di kabel otak
Aku juga punya esai, dengan Tanya dan jawab yang tak usai.
Sajakku, artikelku, dan esaiku
Tak tertulis lewat kertas, tak terucap dengan kata
Berlarian, berpapasan, dan berlupakan.
Dan kamar kita memang tak pernah menyimpan cinta
Hanya sajak-sajak yang terserap
Di dingin dinding dan jendela kaca
2002
Formentera
Aku teriakkan namamu di puncak tebing cala saona
Lalu menara El pilar de La Mola membisikkan gema
Suara serakku bercampur kerinduan yang tertua.
Tak ada jawaban memang,
Hanya desir angin dan lembur pasir
Menyelesar ke dalam batinku.
Kuteguk bergelas-gelas Hierbas
Sambil mencarimu di antara minuman dan
Makanan khas Es Calo den San Aqusti.
Bahkan di pulau ini,
Formentera dengan sejuta keindahannya
Hanya mencatatmu dengan ayat-ayat cinta
Yang tak terucapkan!
2002
Parangtritis (Meitha KH)
Parangtritis
Aku hampiri gunung
Yang pernah kau lagukan untukku
Masih ada nada itu
Pada celah celah kabut
Aku hampiri cemara
Ketika lelah kembali menjerat
Tetapi hijau malah terasa sesak
Aku hampiri pantai
Dalam lingkaran bentengan bukit
Dan kususun rakit kerinduan
Yang bertumpuk
Kini tak lagi kuhampiri kamu
Setelah angin membawa hatiku
Setelah gelombang menerpa pasir tepi laut
2001
Melankolia
Dulu pernah kauceritakan hutan yang rimba
Dan kini aku pun kembali menjelajahinya
Ternyata masih kurasakan
Patahan patahan cahaya matahari
Dari celah celah yang tinggi
Mengecup keningku
Dan memang di sini
Aku tak mungkin sendiri
Andainya aku tanah
Maka kau seperti akar pepohonan
Yang merejam ke arah jantungku
2000
Jika
Jika cinta adalah bulan
Maka kau seperti silangan cahaya
Yang sembunyi di antara pepohonan
2002
Nikah (Meitha KH)
Mesin Waktu (Meitha KH)
Inikah jalan kita?
Jarum jam, menit, dan detik
berhitung kecemasan